READINESS
DALAM BELAJAR
I.
PENDAHULUAN
Dalam belajar sangatlah dibutuhkan persiapan diri untuk menghadapinya.
Belajar adalah cara seseorang untuk mengetahui suatu perihal yang belum bisa
dilakukan. Seseorang baru dapat belajar tentang sesuatu apabila dalam dirinya
sudah terdapat “Readiness” untuk
mempelajari sesuatu itu. Karena dalam kenyataannya setiap individu mempunyai
perbedaan individu, maka masing-masing individu mempunyai latar belakang
perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan adanya pola pembentukan readiness yang berbeda-beda pula di
dalam diri masing-masing individu. Begitu pula readiness dalam belajar sangatlah berpengaruh pada perkembangan
pribadi seseorang untuk mematangkan kesediaannya dalam belajar tersebut dengan
begitu seseorang akan mudah dan siap menerima sesuatu yang akan dipelajari
dalam pembelajarannya itu sendiri.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian readiness?
2. Bagaimana readiness dalam belajar?
3. Pembentukan readiness dalam belajar?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Readiness
Readiness diartikan sebagai kesiapan atau kesediaan
seseorang untuk berbuat sesuatu. Seorang ahli bernama Cronbach memberikan
pengertian tentang pengertian tentang readiness
sebagai segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi
dengan cara tertentu.[1]
B.
Readiness dalam Belajar
Kesiapan dalam belajar adalah kondisi-kondisi yang mendahului kegiatan
belajar itu sendiri. Tanpa ada kesiapan atau kesediaan ini proses belajar tidak
akan terjadi. Pra kondisi belajar ini terjadi atas :
1. Perhatian
Untuk mengamati sesuatu diperlukan perhatian, seperti misalnya perhatian
pada seorang anak dengan menggunakan cara anak harus melihat gambar atau buku
dan bukan melihat keluar jika ingin belajar. Kita tentu dapat memikirkan
berbagai cara untuk menarik perhatian anak dengan memberikan stimulus yang
baru, aneka ragam, atau berinteraksi tinggi.
Untuk memupuk perhatian pada anak ada yang memberikan ganjaran simbolis,
dapat pula dipupuk dengan memberi kesempatan pada anak untuk memberikan respon
dan anak suka melakukannya. Selain itu pelajaran dimulai dengan yang mudah
seperti rangkaian yang lebih panjang. Sehingga dapat mempersiapkan diri untuk
menghadapi sesuatu atau hal yang akan dipelajarinya.
2. Motivasi Belajar
Motivasi kelakuan manusia merupakan yang sangat luas. Banyak macam motivasi
dan para ahli meneliti tentang bagaimana asal dan perkembangannya dan menjadi
suatu “daya” dalam mengarah kelakukan seseorang. Motivasi diakui sebagai hal
yang sangat penting bagi pelajaran di sekolah. Setidaknya anak itu harus
mempunyai motivasi untuk belajar di sekolah. Tidak semua anak menyukai sekolah,
sekalipun mereka tidak membenci segala bentuk pelajaran. Sebaliknya diharapkan
mempunyai motivasi untuk belajar agar ia dapat melakukan sesuatu.
3. Perkembangan
Kematangan
Dapat tidaknya seorang anak belajar sesuatu juga ditentukan, oleh taraf
kematangan dan kesiapannya.
Piaget (1952) membedakan beberapa fase dalam aspek kognitif yang disebutnya
fase senso-motor, pra operasional, operasional kongkrit, dan operasional
formal. Pada suatu saat anak itu dapat berpikir logis bila dihadapkan dengan
peristiwa yang kongkrit akan tetapi ia tidak mampu memperlihatkan pemikiran
logis bila menghadapi masalah yang mengandung unsur-unsur simbolis.
Dapat juga dikatakan, bahwa perbedaan dalam perkembangan kesiapan anak
disebabkan oleh perbedaan dalam ketrampilan intelektual yang telah dipelajari
sebelumnya. Dengan demikian perlulah dipenuhi prasyarat untuk melakukan tugas
atau memecahkan masalah tertentu. Pada prinsipnya seorang anak kelas empat SD
dapat diajarkan berpikir abstrak asal ia menguasai prasyarat-prasyarat untuk
itu. Anggapan sekarang adalah bahwa anak-anak dapat mempelajari hal-hal yang
dulunya diundurkan sampai usia yang lebih tinggi. Dalam Matematika misalnya pada
tingkat rendah di SD telah diajarkan pengertian-pengertian aljabar dan
Matematika lainnya yang dahulu baru diberikan kepada murid-murid SMP.[2]
4. Perkembangan Disiplin
Bila dasar yang baik yang disebut sebagai pola emosional yang habitual
sudah terbentuk, tidaklah sukar bagi lingkungan lain seperti sekolah untuk
melanjutkan usaha ini. Sebab hubungan tinebal baik untuk kebutuhan rasa aman,
dan pemberian perlindungan akan berlanjut terus, juga di luar rumah meskipun
dalam gradasi yang berbeda.
Tujuan disiplin bukan untuk melarang kebebasan atau mengadakan penekanan,
melainkan memberikan kebebasan dalam batas kemampuan seseorang atau anak untuk
ia kelola. Sebaliknya kalau berbagai larangan itu amat ditekankan kepadanya, ia
akan merasa terancam, mengalami rasa cemas yang merupakan suatu gejala yang
kurang baik dalam pertumbuhan seseorang.
Bagi seorang anak disiplin bersifat arbirair yang artinya adalah suatu
kunformitas pada tuntutan eksteranl, namun bila dilakukan dalam suatu suasana
emosional yang positif, menjadi proses pendidikan yang menimbulkan keikhlasan
dari dalam dirinya untuk berbuat sesuai peraturan, tanpa merasa dirinya takut
atau terpaksa. Dengan begitu tidak terjadi “disiplin bangkai” (cadaveric discipline), yaitu kepatuhan
mati yang ditaati karena takut dan tanpa pikir atau keikhlasan.
Disiplin membantu anak atau seorang untuk menyadari apa yang diharapkan dan
apa yang tidak diharapkan darinya, dan membantunya bagaimana mencapai apa yang
diharapkan darinya tersebut. Disiplin terjadi bila pengaruh diberikan oleh
seseorang yang memberikan dan tumbuh dari pribadi yang berwibawa serta dicintai
bukan ditakuti dan berkuasa. Dengan demikian disiplin dapat menciptakan pula
kesiapan atau kesediaan dalam diri seseorang untuk menghadapi atau mempelajari
sesuatu.[3]
5. Mengubah Gerak Tubuh
Menggapai Kepercayaan Diri
Banyak belajar yang tidak mempercayai kemampuan diri sendiri, merasa rendah
diri, minder dan selalu merasa kekurangan, sehingga kesiapan dalam dirinya
kurang maksimal untuk menghadapi suatu pembelajaran. Mereka selalu menunggu
pengarahan dari orang lain. Menurut Muhammad bin Abdullah as-sahini, hilangnya
rasa percaya diri pada anak disebabkan oleh perlakuan pendidik yang salah,
orang tua dan para pendidik menerapkan konsep pengajaran yang tidak benar,
seperti anak didik terlalu banyak dibebani oleh perintah dan larangan, padahal
hal ini malah bisa mematikan kreativitanya. Banyak orang tua yang miskin tetapi
kaya hukuman. Setiap melakukan kesalahan anak juga selalu ditakut-takuti dan
dimarahi. Perbuatan ini jelas akan berakibat fatal anak tidak berani mencoba
lagi sehingga akhirnya rasa percaya diri akan hilang dari anak.
Para psikolog menjelaskan bahwa kita dapat mengubah sikap dengan cara
mengubah tindakan fisik. Mengubah fisik berarti mengubah gerakan tubuh kita,
mulai dari gerakan badan, kaki, tangan dan seluruh anggota tubuh. Selaku
pelajar kita akan merasa sebagai pelajar yang unggul, pintar, cerdas, dan penuh
percaya diri.[4]
Bila kita aktif maka kita akan dapat mengubah diri kita dengan rasa percaya
diri sebagai langkah kesiapan untuk perkembangan diri kita yang lebih baik.
C.
Pembentukan Readiness dalam Belajar
Dalam pembentukan readiness
meliputi :
1. Prinsip-prinsip Readiness dalam belajar yang melibatkan
beberapa faktor yang bersama-sama membentuk readiness
yaitu :
a) Perlengkapan dan
pertumbuhan fisiologis, ini menyangkut pertumbuhan terhadap kelengkapan pribadi
seperti tubuh yang umumnya, alat-alat indra dan kapasitas intelektual.
b) Motivasi yang
menyangkut kebutuhan, minat serta tujuan-tujuan individu untuk mempertahankan
serta mengembangkan diri. Motivasi berhubungan dengan sistem kebutuhan dalam
diri manusia serta tekanan-tekanan lingkungan.
Dengan demikian, readiness
seseorang itu senantiasa mengalami perubahan setiap hari sebagai akibat dari
pertumbuhan dan perkembangan fisiologis individu. perkembangan readiness terjadi dengan mengikuti
prinsip-prinsip tertentu. Adapun prinsip-prinsipnya yaitu :
1) Semua aspek
berinteraksi dan bersama-sama membentuk readiness
2) Pengalaman seseorang
ikut mempengaruhi pertumbuhan fisiologis individu
3) Pengalaman mempunyai
efek kumulatif dalam perkembangan fungsi-fungsi kepribadian individu, baik
jasmaniah maupun yang rohaniah.
4) Apabila readiness untuk melaksanakan kegiatan
tertentu terbentuk pada diri seseorang, maka saat-saat tertentu dalam kehidupan
seseorang merupakan masa formatif bagi perkembangan pribadinya.
2. Kematangan sebagai
dasar dari pembentukan Readiness
Individu mengalami pertumbuhan materiil jasmaniah bahwa pertumbuhan pada
masing-masing individu tidak sama. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh pengaruh
fisiologis, psikologis dan bahkan sosial. Antara kondisi fisik dan kehidupan
sosial terdapat hubungan timbal balik.
Superioritas jasmanilah tidak mesti berarti menjadikan superioritas tingkah
laku. Sering orang beranggapan, apabila seseorang memiliki kondisi fisik yang
menonjol seperti bertubuh gemuk, kuat, cantik atau tampan dan sebagainya dapat
menunjukkan pola tingkah laku yang dipuji oleh orang lain. Pengaruh kondisi
jasmaniah terhadap pola tingkah laku atau pengakuan sosial sangat tergantung
kepada :
1) Pengakuan individu
yang bersangkutan terhadap diri sendiri (self
concept)
2) Pengakuan dari orang
lain atau kelompoknya. Masing-masing individu mempunyai sikap tersendiri
terhadap keadaan fisiknya.
Perubahan jasmaniah memerlukan bantuan “motor
learning” agar pertumbuhan itu mencapai kematangan. Kematangan ataupun
kondisi baru akan memperoleh pengakuan sosial, apabila individu yang
bersangkutan mengusahakan “sosial
learning”. Dengan demikian sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhannya,
berlajarnya, dan lingkungan sosialnya.
a) Dasar-Dasar Biologis
Tingkah Laku
Tingkah laku individu didasari oleh pertumbuhan biologisnya. Sistem syaraf
merupakan penggerak tingkah laku manusia secara biologis. Pusat sistem syaraf
terdiri dari otak dan sum-sum tulang belakang. Itulah yang berfungsi sebagai
pengatur gerakan jasmaniah pada tubuh. Tingkah laku manusia dapat terbagi atas
dua macam reaksi yaitu ;
1) Respondent behavior, yaitu tingkah laku bersyarat dan tidak sengaja
selalu tergantung kepada stimuli
2) Operant behavior, yaitu tingkah laku disengaja dan tidak selalu
tergantung pada stimuli.
Setiap jenis tingkah laku, baik yang disengaja maupun tidak, memerlukan
kematangan fungsi jasmaniah, terutama fungsi-fungsi sistem syaraf dan fungsi-fungsi
vital jasmaniah.
b) Perubahan-perubahan
dalam otak yang menimbulkan kematangan
Setelah otak menjadi matang mengalami perubahan fisik pada manusia.
Perubahan ini dapat menimbulkan tingkah laku baru tak terduga sebelumnya.
Perkembangan struktur dan fungsi otak tampak sempurna atau hampir sempurna
pada saat anak tiba masuk sekolah dasar. Pada umur-umur setelah 6 tahun,
terjadilah perubahan-perubahan penting dalam struktur otak, namun perkembangan
kapasitas mental lebih banyak diakibatkan oleh pengalaman atau belajar.
Perkembangan prestasi akademik pada anak-anak sesudah mencapai masa remaja
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor motivasi dan belajar.
c) Kematangan membentuk Readiness
Perubahan disebabkan karena perubahan “genes”
yang menentukan perkembangan struktur fisiologis dalam sistem saraf, otak dan
indra sehingga semua itu memungkinkan individu matang mengadakan reaksi-reaksi
terhadap setiap stimulus lingkungan.
Kematangan ialah keadaan atau kondisi bentuk struktur dan fungsi yang
lengkap atau dewasa pada suatu organisme, baik terhadap satu sifat, bahkan
seringkali semua sifat (English &
English, 1958 : 308).
Kematangan (Maturity) membentuk
sifat dan kekuatan dalam diri untuk bereaksi dengan cara tertentu, yang disebut
“readiness”. Rediness yang dimaksud
yaitu readiness untuk bertingkah
laku, baik tingkah laku yang instingtif, maupun tingkah laku yang dipelajari.
Yang dimaksud dengan laku instingtif yaitu suatu pola tingkah laku yang
diwariskan (melalui proses hereditas). Ada 3 ciri tingkah laku instingtif,
yaitu :
1. Tingkah laku
instingtif terjadi menurut pola pertumbuhan hereditas.
2. Tingkah laku
instingtif adalah tanpa didahului dengan latihan atau praktek sebelumnya.
3. Tingkah laku
instingtif berulang setiap saat tanpa adanya syarat yang menggerakkannya.
Tingkah laku apapun yang dipelajari, memerlukan kematangan. Orang tak akan
dapat berbuat secara intelijen apabila kapasitas intelektualnya belum
memungkinkannya. Untuk itu kematangan dalam struktur otak dan sistem saraf
sangat diperlukan.
Dalam kehidupan individu, banyak hal yang tidak dapat dilakukan atau
diperoleh hanya dengan kematangan, melainkan harus dipelajari. Hal ini misalnya
mengenai kemampuan berbicara, membaca, menulis dan lain-lain. Dalam hal
melakukan aktifitas-aktifitas semacam itu. Kematangan memang tetap diperlukan
sebagai penentu readiness untuk
belajar.
Tingkat kematangan individu dapat diketahui dengan jalan mengukur mental (MA yatu mental age) masing-masing
individu.
3. Lingkungan atau
kultur sebagai penyumbang pembentukan Readiness
Memang, anak mengalami pertumbuhan, dan pertumbuhan fisiknya merupakan
penyumbang terpenting bagi pembentukan readiness.
Perkembangan mereka tergantung pada pengaruh lingkungan dan kultur disamping
akibat tumbuhnya pada pola jasmaniah. Stimulasi lingkungan serta
hambatan-hambatan mental individu mempengaruhi perkembangan mental, kebutuhan,
minat, tujuan-tujuan, perasaan, dan karakter individu yang bersangkutan.
Dalam perkembangan kehidupan individu, lingkungan yang dihadapi atau
direaksi semakin luas. Meluasnya lingkungan dapat melalui beberapa cara antara
lain :
1) Perluasan paling
nyata adalah dalam arah stimuli fisik anak. Makin tua umur manusia, makin luas
pula medan geografis yang dihadapi dan arah stimulasinya semakin melebar pula.
2) Manusia yang
mengalami perkembangan kapasitas intelektual dan disamping itu pemikirannya
meningkat, maka dalam hidupnya terjadi banyak perubahan lingkungan. Dan
perkataan lain lingkungan banyak mengalami perubahan di dalam diri manusia,
misalnya di dalam pengamalannya, kesan-kesannya, ingatannya, imajinasinya dan
yang terlebih penting adalah dalam pemikirannya.
3) Akibat dari keadaan
nomor 2) di atas, terjadilah perubahan lingkungan di dalam kemampuan individu
membuat keputusan. Dengan adanya lingkungan dalam diri manusia ini, maka
manusia pun menjadi lebih bebas menggunakan dunia untuk tujuan-tujuan manusia.
Perubahan lingkungan ini terjadi akibat belajar serta bertambahnya kematangan
manusia. Dengan adanya kemampuan mengontrol lingkungan yang lebih luas maka
makin banyaklah kesempatan manusia untuk belajar. Dengan demikian makin
banyaknya manusia belajar, maka kematangan tidak semakin berkurang melainkan
dapat lestari atau bahkan meningkat.[5]
IV.
KESIMPULAN
Pengertian readiness yaitu
diartikan sebagai kesiapan atau kesediaan seseorang untuk berbuat sesuatu.
Readiness dalam belajar adalah kesiapan atau
kondisi-kondisi yang mendahului kegiatan belajar tersebut, pra-kondisi belajar
ini terdiri dari : 1. perhatian; 2.
motivasi belajar; 3. perkembangan kematangan; 4. perkembangan disiplin; 5.
mengubah gerak tubuh menggapai kepercayaan diri. Dengan pra kondisi ini akan
mematangkan sebuah readiness di dalam
pembelajaran.
Adapun readiness dalam belajar
mempunyai :
1. Prinsip-prinsip
pembentukan readiness yang mempunyai
faktor-faktor sebagai berikut:
a) perlengkapan dan pertumbuhan fisiologis,
b) motivasi yang menyangkt kebutuhan.
Perkembangan readiness terjadi dengan mengikuti
prinsip-prinsip tertentu yaitu :
1) Semua aspek
berinteraksi dan bersama-sama membentuk readiness
2) Pengalaman seseorang
mempengaruhi fisiologis individu
3) Pengalaman mempunyai
efek kumulatif dalam perkembangan fungsi-fungsi kepribadian individu
4) Apabila readiness untuk melaksanakan kegiatan
tertentu dalam kehidupan merupakan perkembangan pribadinya.
2. Kematangan sebagai
dasar dari pembentukan readines yang
meliputi :
a) Dasar-dasar biologis
tingkah laku
b) Kematangan membentuk readiness
3. Lingkungan atau
kultur sebagai penyumbang pembentukan readiness.
Pembentukan readiness dipengaruhi
pula atas lingkungan atau kultur. Dengan adanya lingkungan dalam diri manusia
akan dapat readiness yang lebih
matang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
2008. Berbagai Pendekatan Proses Belajar
& Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Noer,
Muhammad, 2009. Software Pembelajaran.
Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani.
Semiawan,
Connyr, 2008. Penerapan Pembelajaran pada
Anak. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Soemanto,
Wasty, 1998. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT. Rineka Cipta
Readiness
Dalam Hal Belajar, Http://Santri Universitas.
Blogspot. Com. 08 Oktober 2001.
[1] Santri
Universitas, http: Santri universitas. blogspot. com.2011.08.
readiness_dalam_hal_belajar. html.diunduh pada tanggal 08 Oktober 2011
[2] Prof.
Dr. S. Nasution, M.A, Berbagai Pendekatan
Proses Belajar & Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm.
180-183
[3] Prof.
Dr. Connyr Semiawan, Penerapan
Pembelajaran pada Anak, (Jakarta: PT. Indeks, 2008), hlm. 91-93
[4] Muhammad
Noer, Sofware Pembelajaran
(Yogyakarta, PT. Pustaka Insan Madani, 2009), hlm.69
[5] Drs.
Wasty Soemanto, M.Pd, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998) hlm. 191-199
No comments:
Post a Comment