MANUSIA
DAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
KATA
PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr. Wb
Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan tugas makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
tafsir yang berjudul” manusia dan masyarakat dalam perspektif Al-qur’an.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan
kebenaran, dan semoga kita mendapatkan syafaatnya di hari kiamat kelak. Amien
Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
baik dalam segi penulisan, isi, penyajian dan lain-lain. Maka dari itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan untuk makalah ini dihari
yang akan datang.
Demikianlah sebagai kata pengantar, penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
makalah ini. Besar harapan penulis semoga tulisan sederhana ini diterima dan
dapat bermanfaat bagi pembaca.
Mudah-mudahan kita mendapat ridlo dari Allah SWT,
amien.
Akhirul Kalam Wassalamu Alaikum Wr. Wb
Pati, 04 Oktober 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul …………………………………………………………… i
Kata
Pengantar …………………………………………………………… ii
Daftar
Isi ………………………………………………………………… iii
BAB
I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah ……………………………………………. 1
b. Rumusan Masalah …………………………………………………... 1
BAB
II PEMBAHASAN
a. Hakikat Manusia dan Kedudukannya dalam Perspektif Al Qur’an … 2
b.
Pengertian Masyarakat dan
Ciri-Cirinya …………………………… 7
c. Hukum-Hukum Kemasyarakatan Menurut Al-Qur’an …………….. 8
BAB
III PENUTUP
a. Kesimpulan ………………………………………………………. 12
b. Daftar Pustaka …………………………………………………… 13
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al qur’an merupakan
sumber ilmu pengetahuan yang sangat bisa dipertanggungjawabkan serta bersifat
fleksibel dan sesuai dengan semua zaman. Hal ini dibuktikan dengan dijadikannya
Al qur’an sebagai landasan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan manusia dan alam semesta.
Semua ada di alam
ini sudah dijelaskan didalam al qur’an, mulai dari hal yang sangat kecil yang
tak terlihat oleh mata manusia sampai dengan hal yang sangat besar hingga mata
manusia ini tak mampu melihat semuanya dengan utuh.
Manusia merupakan
obyek kajian dalam Al qur’an yang sangat dominan, yang didalamnya dikaji mulai
dari manusia belum ada, berkumpul hingga manusia kembali ke asalnya.
Dari sinilah kita
akan mengkaji manusia dan masyarakat dalam perspektif Al qur’an, sehingga kita
sebagai manusia yang bermasyarakat akan lebih mengerti posisi, tugas dan
kewajiban kita masing-masing baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah
SWT.
B. Rumusan masalah
Dari
latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah hakikat manusia dan kedudukannya dalam perspektif al
qur’an?
2. Apakah pengertian masyarakat dan ciri-cirinya?
3. Bagaimanakah hukum-hukum kemasyarakatan menurut al-qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Dan Kedudukan Manusia Dalam Perspektif Al Qur’an
Berbicara
tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri yaitu
makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah
disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling
istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Menurut
Ismail Rajfi manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena
dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan. Manusia
mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal.
Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang
dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah
adalah sebagai amanah. Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu
qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk
bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara
spiritual.
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling
mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal,
qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan
kehidupan.[1]
Dengan
kata lain, manusia adalah makhluk hidup yang nyata (terlihat) dengan tingkat
intelektual yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya.
Sedangkan menurut istilah dalam al qur’an, manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang diciptakan dari tanah yang diberi ruh dan diberikan akal sebagai daya
untuk memahami dan menggambarkan sesuatu.
Didalam
al qur’an kata manusia ditunjukan dengan tiga kata yaitu:
1. Menggunakan kata yang terdiri dari tiga huruf, yaitu alif, nun,
dan sin, semacam insan, ins, nas atau unas.
2. Menggunakan kata basyar
3. Menggunakan kata bani adam dan zuriyat adam.
Uraian ini mengarahkan pandangan secara khusus
kepada kata basyar dan kata insan. Kata basyar terambil dari akar kata yan pada
mulanya berarti penampakan sesuatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang
sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena
kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit makhluk lainnya.
Sedangkan
kedudukan manusia menurut Abdul Mukti Rou’f adalah sebagai berikut:
A.
Konsep Al-Basyr
Penelitian
terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar
menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam, makhluk
fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat
pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.[2]
Kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya
sekali dalam bentuk mutsanna. Berdasarkan
konsep basyr, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis
lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip
kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan makhluk
biologis lain, seperti binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia
sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
a)
Prenatal (sebelum lahir),
proses penciptaan manusia benawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma)
di dalam rahim dan pembentukan fisik
b)
Post natal (sesudah lahir)
proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut
Secara
sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena
kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain.
Dengan
kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dan aspek lahiriahnya,
mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dan bahan yang sama yang ada
di dunia ini.
Dan
oleh pentambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan
akhirnya ajalpun menjemputnya[3]
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah
fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal
dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tengambar tentang bagaimana
seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana dia berupaya untuk
memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya. Yakni dalam
memenuhi kebutuhan primer, sekunden dan tersier.
B.
Konsep Al-Insan
Kata
insan bila dilihat asal kata al-nas, benarti melihat, mengetahui, dan minta
izin. Atas dasar ini, kata tersebut meminta izin ketika akan menggunakan
sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia
mampunyai potensi untuk dididik.[4]
Potensi
manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk
berkreasi dan berinovasi. Jelas bahwa kreativitas manusia dapat menghasilkan
sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun
benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemamnpuan berinovasi manusia mampu
merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang, Dengan demikian manusia dapat
menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
C.
Konsep Al-Nas
Dalam
konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk
sosial. Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan
bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial, artinya tidak boleh sendiri-sendiri.
Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.
Jika
kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan
laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan
kata lain adanya pengakuan terhadap spesies di dunia ini, menunjukkan bahwa
manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara
sederhana, inilah sebenamya fungsi manusia dalam konsep an-naas.
D.
Konsep Bani Adam
Adapun
kata bani adam dan zurriyat adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam,
digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dan asal keturunannya[5].
Dalam A1-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat.
Menurut
Thabathaba’i penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum.
Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji,[6]
Ketiga anjuran tersebut mencakup, anjuran, peringatan, pemanfaatan alam yang di
ciptakan oleh Allah. Yang pertama yaitu anjuran untuk berbudaya sesuai dengan
ketentuan Allah, yang diantara anjuran tersebut adalah berpakaian dengan busana
ala kadarnya, guna menutup aurat. Yang kedua yaitu peringatan, dalam hal ini
dimaksudkan agar anak adam selalu menta’ati ajaran ajaran syari’at islam dengan
menjalankan kwajiban-kewajiban supaya tidak terjerumus oleh godaan syetan.
Selanjutnya yaitu yang ketiga adalah pemanfaatan segala alam ciptaa Allah
dengan sebaik-baiknya, karna awal mula manusia diciptakan adalah untuk menjdi
khalifah.
E. Konsep Al-Ins
Kata
al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat
dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan
Al-Nufur. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan
jin, maka manusia adalah makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah makhluk
halus yang tidak tampak.
Sisi
kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam
arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa
manusia merupakan kebalikan dan jin yang menurut dalil aslinya bersifat
metafisik yang identik dengan liar atau bebas.
Dari
pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu di
posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas, bersifat halus dan tidak
biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam “antah berantah”
dan alam yang tak terinderakan. Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan
diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
F.
Konsep Abd. Allah
Menurut
Quraish Shihab yang dikutip dari Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki
potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah.
Selain itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri.
Ja’far al-Shadiq memandang ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru dapat
terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1.
Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan Allah.
2.
Menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk
memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
3.
Dalam mengambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd. Allah, manusia merupakan hamba
yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah yaitu dengan menta’ati segala
aturan-aturan Allah.
G.
Konsep Khalifah Allah
Pada
hakikatnya eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk
melaksanakan kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya
sesuai dengan kehendak Penciptanya. Peran
yang dijalankan oleh manusia menurut statusnya sebagal khalifah Allah.
Sebagai mandataris Allah dalam peran ini manusia
penting menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan
sesama manusia adalah karena penegasan dan Penciptanya.[7]
2. Pengertian Masyarakat Dan Ciri-Cirinya
1.
Pengertian masyarakat
Masyarakat
adalah kumpulan sekian banyak individu dari yang kecil sampai yang besar yang
terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas,dan hidup bersama. Ada
beberapa kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada masyarakat atau
kumpulan manusia.
Antara
lain qawm, ummah, syu’ub, dan qabail. Di samping itu, Al-Quran juga
memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala’,
al-mustakbirun, al-mustadh’afun, dan lain-lain.
Walaupun
Al-Quran bukan kitab ilmiah (dalam pengertian umum) namun Kitab Suci ini banyak
sekali berbicara tentang masyarakat. ini disebabkan karena fungsi utama Kitab
Suci adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat,
atau dalam istilah AlQuran litukhrijaannas minazhzhulumati ilannur
(mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang).
Manusia
adalah “makhluk sosial”, ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi
Muhammad Saw (Khalaqal insan min’alaq), dapat dipahami sebagai salah satu
ayat yang menjelaskan hal tersebut, bukan saja diartikan sebagai “menciptakan
manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim”,
tetapi juga dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu
bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri.”
Dalam
surat Al-Hujurat ayat 13 secara jelas dinyatakan bahwa manusia diciptakan terdiri dari
laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling
mengenal.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al-Quran, manusia secara fitri adalah
makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan satu keniscayaan bagi mereka.[8]
2.
Ciri Khas Setiap Masyarakat
Setiap
masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya. Mereka melangkah
berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut. Inilah yang melahirkan watak dan
kepribadiannya yang khas. Dalam hal ini, Al-Quran menyatakan dalam surat
Al-an’am 108:
Artinya:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al-an’am: 108).[9]
Suasana
kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan cara
pandang masyarakat itu. Jika sistem mulai atau pandangan mereka terbatas pada
“kini dan disini” maka upaya dan ambisinya menjadi terbatas pada kini dan
disini pula. Al qur’an menjelaskan dalam surat Al-Isra’ ayat 18:
Artinya:
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan
baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan
kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan
tercela dan terusir.
(QS.
Al-Isra’: 18)[10]
Al-Quran
menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan sejarah bersama,
tujuan bersama, catatan perbuatan bersama, bahkan kebangkitan, dan kematian
bersama. Dan disinilah lahir gagasan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta konsep
fardhu kifayah dalam arti semua anggota masyarakat memikul dosa bila sebagian
mereka tidak melaksanakan kewajiban tertentu.[11]
Meskipun
Al-Quran menisbahkan watak, kepribadian, kesadaran, kehidupan dan kematian
kepada masyarakat, namun Al-Quran tetap mengakui peranan individu, agar setiap
orang bertanggung jawab atas diri sendiri dan masyarakatnya.
3. Hukum-Hukum Kemasyarakatan Menurut Al-Qur’an
Al
qur’an sarat dengan uraian tentang hukum-hukum yang mengatur lahir, tumbuh, dan
runtuhnya suatu masyarakat. Hukum-hukum yang sedemikian itu yang dimaksud adalah semua ketenuan dan segala sesuatu
yang dikembalikan kepada Allah. Maka dalam kontek ini Al-Qur’a disebut juga
dengan sunnatullah(hukum Allah). Jadi seluruh isi Al-Qur’an adalah
memuat smua hukum-hukum Allah yang telah digariskan dalm kehidupan makhluk-Nya.
Salah satu hukum kemasyarakatan yang
populer walaupun sering diterjemahkan dan dipahami secara keliru adalah firman
Allah yang berbicara tentang hukum perubahan dalam surat Ar-Ra’d: 11:
Artinya:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.(QS. Ar-Ra’d: 11)[12]
Quraish
shihab menjelaskan, ayat
tersebut berbicara tentang dua macam
perbuatan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan dari Allah, dan kedua perubahan dari diri manusia (sikap mental) nya sendiri. Perubahan yang dilakukan Allah dengan melelui tatanan huku masyarakat yang ada
yang seolah-olah terjadi secara sendirinya dan hukum Allah sudah pasti akan
terjadi. Dan hukum tersebut
tidak menspesialisasikan antara masyarakt yang satu dengan yang lainya, karena
hukum Allah adalah sesuatu yang bersifat Qot’i, Allah swt tidak akan merasa
diuntungkan bila masyarakat seluruhnya bertaqwa, begitu juga sebaliknya tidak
rugi bila masyarakat seluruhnya ingkar dengan sunnah-nya.
Hukum kemasyarakatan yang kedua menurut al
qur’an adalah tanggung jawab kolektif. Seperti yang dijelaskan dalam
surat Al-Jatsiyah 28:
Artinya: Dan (pada hari
itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. tiap-tiap umat dipanggil untuk
(melihat) buku catatan amalnya. pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa
yang Telah kamu kerjakan.
(QS.
Al-Jatsiyah 28)[13]
Al-Quran
juga menginformasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai usia, seperti yang
terdapat dalam al qur’an surat Al-A’raf 7:
Artinya: Sesungguhnya
kami Telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, Kemudian kami
katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka
merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud. (QS. Al-A’raf: 7)[14]
Kedua
ayat di atas tidak berbicara tentang ajal perorangan, tetapi ajal masyarakat.
Lengah akan adanya usia atau ajal bagi setiap masyarakat, dapat mengantar
kepada kekeliruan penafsiran.
Didalam
surat lain yaitu surat Al-Isra’ ayat 76:
bÎ)ur (#rß%2 tRrÏÿtFó¡ts9 z`ÏB ÇÚöF{$# x8qã_Ì÷ãÏ9 $yg÷YÏB ( #]Î)ur w cqèWt7ù=t y7xÿ»n=Åz wÎ) WxÎ=s% ÇÐÏÈ
Artinya: Dan
Sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah)
untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu
mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja. (QS. Al-Isra’ ayat 76) [15]
Menurut
Quraish shihab, ayat 76 di atas justru berbicara tentang salah satu hukum
kemasyarakatan,[16]
yaitu jika dalam satu
kelompok masyarakat telah mencapai puncak kebejatannya, maka mereka tidak lama
lagi akan mengalami kebinasaan
karena telah disingung oleh Allah swt dalam ayat-ayat-Nya. Dalam kasus Nabi Luth AS, Yaitu kaum Sadum
dibalikkanya tanah desa mereka oleh Allah Swt, karena telah menyalahi tata
kodrati manusia sebagai ciptaan Allah. Mereka telah mngubah saluran nafu meeka
kepada sejenis,padahal telah di gariskan bahwa manusia sudah diciptakan
berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Demikian pula dalam kasus
Nabi Muhammad Saw, masyarakat kaum musyrik di Makkah yang telah tinggal
sejarahnya karena telah berupaya membunuh Nabi saw, upaya tersebutlah yang
dimaksud puncak kebejatan.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a)
Manusia adalah makhluk
hidup yang nyata (terlihat) dengan tingkat intelektual yang lebih tinggi
dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Dan kedudukannya adalah Al-Basyr ,
Al-Insan, Al-Nas, Bani Adam, Al-Ins, Abd. Allah, Khalifah Allah.
b)
Masyarakat adalah kumpulan
sekian banyak individu dari yang kecil sampai yang besar yang terikat oleh
satuan, adat, ritus atau hukum khas,dan hidup bersama. Setiap masyarakat
mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya. Mereka melangkah berdasarkan
kesadaran tentang hal tersebut.
c)
Hukum kemasyarakatan
sedikit banyak disinggung dalam al-qur’an yaitu antara lain adalah tentang perubahan
sosial, tanggung jawab kolektif, dan usia karena cepat atau lambat ajal pasti
akan menjemput nyawa.
2.
Daftar Pustaka
Bintu Syati, Aisyah. 1999. Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Departemen Agama RI. 2002. Al Qur’an Dan Terjemahannya. Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Agama RI. 1981. Al
Qur’an Dan Terjemahannya. jakarta: Proyek pengadaan kitab suci Al-Qur’an.
Departemen Agama R.I. 2004.
Al-Qur’an an terjemahny. Bandung: CV Jumanatul ALI-ART.
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mukti Ro’uf, Abdul. 2008. Manusia Super. Pontianak: STAIN
Pontianak Press
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan
.1994. Membumikan Al Qur’an. Bandung: Mizan.
http://media.isnet.org/islam/Quraish/wawasan/masyarakat.html
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif lslam. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
[1]
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003, hal. 12
[2]
Aisyah Bintu Syati, 1999, Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus, hal.2
[3]
Abuddin Nata, 1997, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, hal. 31
[4]
Ibid., hal. 29
[5]
Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, hal. 320
[6]
Abdul Mukti Ro’uf, 2008, Manusia Super. Pontianak: STAIN Pontianak
Press, hal. 39
[7]
http://media.isnet.org/islam/Quraish/wawasan/masyarakat.html
diunduh pada tanggal 25 oktober 2011
[8]http://st-30.abatasa.com/post/detail/9767/manusia-dalam-perspektif-al-qur%E2%80%99an
diunduh pada tanggal 25 oktober 2011
[9] Departemen Agama R.I, Al-Qur’an an
terjemahnya, Bandung: CV Jumanatul ALI-ART, 2004, Hal. 142
[10] Ibid., 280
[11]
Ahmad Tafsir ,2005, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif lslam, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, hal. 98
[12]
Departemen Agama RI, 2002, Al Qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta: Rineka
Cipta, Hal. 116
[13] Departemen Agama RI, Al Qur’an Dan
Terjemahannya, jakarta: Proyek
pengadaan kitab suci Al-Qur’an, 1981, Hal. 502
[14] Ibid., Hal. 152
[15]
Op.Cit., hal. 125
No comments:
Post a Comment