Menu

Thursday, 2 January 2014

MANUSIA DAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN (makalah Tafsir )



MANUSIA DAN MASYARAKAT DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb
Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan tugas makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah tafsir yang berjudul” manusia dan masyarakat dalam perspektif Al-qur’an.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran, dan semoga kita mendapatkan syafaatnya di hari kiamat kelak. Amien
Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan baik dalam segi penulisan, isi, penyajian dan lain-lain. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan untuk makalah ini dihari yang akan datang.
Demikianlah sebagai kata pengantar, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Besar harapan penulis semoga tulisan sederhana ini diterima dan dapat bermanfaat bagi pembaca.
Mudah-mudahan kita mendapat ridlo dari Allah SWT, amien.
Akhirul Kalam Wassalamu Alaikum Wr. Wb

Pati, 04 Oktober 2011



Penulis






DAFTAR ISI

Halaman Judul  ……………………………………………………………        i
Kata Pengantar  ……………………………………………………………       ii    
Daftar Isi   …………………………………………………………………      iii
BAB I PENDAHULUAN                                                                               
a.    Latar Belakang Masalah …………………………………………….       1                            
b.    Rumusan Masalah …………………………………………………...       1    
BAB II PEMBAHASAN
a.    Hakikat Manusia dan Kedudukannya dalam Perspektif Al Qur’an        2
b.    Pengertian Masyarakat dan Ciri-Cirinya ……………………………       7
c.    Hukum-Hukum Kemasyarakatan Menurut Al-Qur’an  ……………..       8
BAB III PENUTUP
a.       Kesimpulan ……………………………………………………….     12
b.      Daftar Pustaka  ……………………………………………………     13
             
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Al qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang sangat bisa dipertanggungjawabkan serta bersifat fleksibel dan sesuai dengan semua zaman. Hal ini dibuktikan dengan dijadikannya Al qur’an sebagai landasan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan manusia dan alam semesta.
Semua ada di alam ini sudah dijelaskan didalam al qur’an, mulai dari hal yang sangat kecil yang tak terlihat oleh mata manusia sampai dengan hal yang sangat besar hingga mata manusia ini tak mampu melihat semuanya dengan utuh.
Manusia merupakan obyek kajian dalam Al qur’an yang sangat dominan, yang didalamnya dikaji mulai dari manusia belum ada, berkumpul hingga manusia kembali ke asalnya.
Dari sinilah kita akan mengkaji manusia dan masyarakat dalam perspektif Al qur’an, sehingga kita sebagai manusia yang bermasyarakat akan lebih mengerti posisi, tugas dan kewajiban kita masing-masing baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah SWT.
 
B.     Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.    Apakah hakikat manusia dan kedudukannya dalam perspektif al qur’an?
2.    Apakah pengertian masyarakat dan ciri-cirinya?
3.    Bagaimanakah hukum-hukum kemasyarakatan menurut al-qur’an?

 
BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian Dan Kedudukan Manusia Dalam Perspektif Al Qur’an
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri yaitu makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Menurut Ismail Rajfi manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan. Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah adalah sebagai amanah. Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.[1]
Dengan kata lain, manusia adalah makhluk hidup yang nyata (terlihat) dengan tingkat intelektual yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Sedangkan menurut istilah dalam al qur’an, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang diciptakan dari tanah yang diberi ruh dan diberikan akal sebagai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu.

Didalam al qur’an kata manusia ditunjukan dengan tiga kata yaitu:
1.    Menggunakan kata yang terdiri dari tiga huruf, yaitu alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas atau unas.
2.    Menggunakan kata basyar
3.    Menggunakan kata bani adam dan zuriyat adam.

 Uraian ini mengarahkan pandangan secara khusus kepada kata basyar dan kata insan. Kata basyar terambil dari akar kata yan pada mulanya berarti penampakan sesuatu yang baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit makhluk lainnya.
Sedangkan kedudukan manusia menurut Abdul Mukti Rou’f adalah sebagai berikut:
A. Konsep Al-Basyr
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia basyar adalah anak turun Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.[2] Kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna. Berdasarkan  konsep basyr, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yaitu:
a)    Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan manusia benawal dari pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di dalam rahim dan  pembentukan fisik
b)   Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut
Secara sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang  yang lain.
Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dan aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dan bahan yang sama yang ada di dunia ini.
Dan oleh pentambahan usianya, kondisi fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya[3]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tengambar tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai tuntunan Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunden dan tersier.
B. Konsep Al-Insan
Kata insan bila dilihat asal kata al-nas, benarti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini, kata tersebut meminta izin ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk dididik.[4]
Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Jelas bahwa kreativitas manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemamnpuan berinovasi manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang, Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
C. Konsep Al-Nas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial, artinya tidak boleh sendiri-sendiri. Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.

Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesies di dunia ini, menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenamya fungsi manusia dalam konsep an-naas.
D. Konsep Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat adam, yang berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dan asal keturunannya[5]. Dalam A1-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat.
Menurut Thabathaba’i penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji,[6] Ketiga anjuran tersebut mencakup, anjuran, peringatan, pemanfaatan alam yang di ciptakan oleh Allah. Yang pertama yaitu anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, yang diantara anjuran tersebut adalah berpakaian dengan busana ala kadarnya, guna menutup aurat. Yang kedua yaitu peringatan, dalam hal ini dimaksudkan agar anak adam selalu menta’ati ajaran ajaran syari’at islam dengan menjalankan kwajiban-kewajiban supaya tidak terjerumus oleh godaan syetan. Selanjutnya yaitu yang ketiga adalah pemanfaatan segala alam ciptaa Allah dengan sebaik-baiknya, karna awal mula manusia diciptakan adalah untuk menjdi khalifah.
E. Konsep Al-Ins
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan Al-Nufur. Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak.
Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia merupakan kebalikan dan jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins manusia selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas, bersifat halus dan tidak biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam “antah berantah” dan alam yang tak terinderakan. Sedangkan manusia jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
F. Konsep Abd. Allah
Menurut Quraish Shihab yang dikutip dari Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Selain itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri. Ja’far al-Shadiq memandang ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1. Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah  dan berada di bawah kekuasaan Allah.
2. Menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
3. Dalam mengambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd. Allah, manusia merupakan hamba yang seyogyanya merendahkan diri kepada Allah yaitu dengan menta’ati segala aturan-aturan Allah.
G. Konsep Khalifah Allah
Pada hakikatnya eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya sesuai dengan kehendak Penciptanya. Peran  yang dijalankan oleh manusia menurut statusnya sebagal khalifah Allah. Sebagai   mandataris Allah dalam peran ini manusia penting menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan sesama manusia adalah karena penegasan dan Penciptanya.[7]
2.    Pengertian Masyarakat Dan Ciri-Cirinya
1.    Pengertian masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu dari yang kecil sampai yang besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas,dan hidup bersama. Ada beberapa kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada masyarakat atau kumpulan manusia.
Antara lain qawm, ummah, syu’ub, dan qabail. Di samping itu, Al-Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala’, al-mustakbirun, al-mustadh’afun, dan lain-lain.
Walaupun Al-Quran bukan kitab ilmiah (dalam pengertian umum) namun Kitab Suci ini banyak sekali berbicara tentang masyarakat. ini disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau dalam istilah AlQuran litukhrijaannas minazhzhulumati ilannur (mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang).
Manusia adalah “makhluk sosial”, ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw (Khalaqal insan min’alaq), dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut, bukan saja diartikan sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim”, tetapi juga dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri.”
Dalam surat Al-Hujurat ayat 13 secara jelas dinyatakan  bahwa manusia diciptakan terdiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al-Quran, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan satu keniscayaan bagi mereka.[8]
2.    Ciri Khas Setiap Masyarakat
Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya. Mereka melangkah berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut. Inilah yang melahirkan watak dan kepribadiannya yang khas. Dalam hal ini, Al-Quran menyatakan dalam surat Al-an’am 108:
Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. Al-an’am: 108).[9]
Suasana kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat itu. Jika sistem mulai atau pandangan mereka terbatas pada “kini dan disini” maka upaya dan ambisinya menjadi terbatas pada kini dan disini pula. Al qur’an menjelaskan dalam surat Al-Isra’ ayat 18:
Artinya: Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.
(QS. Al-Isra’: 18)[10]

Al-Quran menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan perbuatan bersama, bahkan kebangkitan, dan kematian bersama. Dan disinilah lahir gagasan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta konsep fardhu kifayah dalam arti semua anggota masyarakat memikul dosa bila sebagian mereka tidak melaksanakan kewajiban tertentu.[11]
Meskipun Al-Quran menisbahkan watak, kepribadian, kesadaran, kehidupan dan kematian kepada masyarakat, namun Al-Quran tetap mengakui peranan individu, agar setiap orang bertanggung jawab atas diri sendiri dan masyarakatnya.
3.    Hukum-Hukum Kemasyarakatan Menurut Al-Qur’an
Al qur’an sarat dengan uraian tentang hukum-hukum yang mengatur lahir, tumbuh, dan runtuhnya suatu masyarakat. Hukum-hukum yang sedemikian itu yang dimaksud adalah semua ketenuan dan segala sesuatu yang dikembalikan kepada Allah. Maka dalam kontek ini Al-Qur’a disebut juga dengan sunnatullah(hukum Allah). Jadi seluruh isi Al-Qur’an adalah memuat smua hukum-hukum Allah yang telah digariskan dalm kehidupan makhluk-Nya.
Salah satu hukum kemasyarakatan yang populer walaupun sering diterjemahkan dan dipahami secara keliru adalah firman Allah yang berbicara tentang hukum perubahan dalam surat Ar-Ra’d: 11:
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(QS. Ar-Ra’d: 11)[12]
Quraish shihab menjelaskan, ayat tersebut  berbicara tentang dua macam perbuatan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan dari Allah, dan kedua perubahan dari diri manusia (sikap mental) nya sendiri. Perubahan yang dilakukan Allah dengan melelui tatanan huku masyarakat yang ada yang seolah-olah terjadi secara sendirinya dan hukum Allah sudah pasti akan terjadi. Dan hukum tersebut tidak menspesialisasikan antara masyarakt yang satu dengan yang lainya, karena hukum Allah adalah sesuatu yang bersifat Qot’i, Allah swt tidak akan merasa diuntungkan bila masyarakat seluruhnya bertaqwa, begitu juga sebaliknya tidak rugi bila masyarakat seluruhnya ingkar dengan sunnah-nya.
Hukum kemasyarakatan yang kedua menurut al qur’an adalah tanggung jawab kolektif. Seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Jatsiyah 28:
Artinya: Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang Telah kamu kerjakan.
(QS. Al-Jatsiyah 28)[13]
Al-Quran juga menginformasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai usia, seperti yang terdapat dalam al qur’an surat Al-A’raf 7:
 
Artinya: Sesungguhnya kami Telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, Kemudian kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud. (QS. Al-A’raf: 7)[14]


Kedua ayat di atas tidak berbicara tentang ajal perorangan, tetapi ajal masyarakat. Lengah akan adanya usia atau ajal bagi setiap masyarakat, dapat mengantar kepada kekeliruan penafsiran.
Didalam surat lain yaitu surat Al-Isra’ ayat 76:
bÎ)ur (#rߊ%Ÿ2 štRrÏÿtFó¡ts9 z`ÏB ÇÚöF{$# x8qã_̍÷ãÏ9 $yg÷YÏB ( #]ŒÎ)ur žw šcqèWt7ù=tƒ y7xÿ»n=Åz žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÐÏÈ
Artinya:  Dan Sesungguhnya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekah) untuk mengusirmu daripadanya dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak tinggal, melainkan sebentar saja. (QS. Al-Isra’ ayat 76) [15]
Menurut Quraish shihab, ayat 76 di atas justru berbicara tentang salah satu hukum kemasyarakatan,[16] yaitu jika dalam satu kelompok masyarakat telah mencapai puncak kebejatannya, maka mereka tidak lama lagi akan mengalami kebinasaan karena telah disingung oleh Allah swt dalam ayat-ayat-Nya. Dalam kasus Nabi Luth AS, Yaitu kaum Sadum dibalikkanya tanah desa mereka oleh Allah Swt, karena telah menyalahi tata kodrati manusia sebagai ciptaan Allah. Mereka telah mngubah saluran nafu meeka kepada sejenis,padahal telah di gariskan bahwa manusia sudah diciptakan berpasang-pasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Demikian pula dalam kasus Nabi Muhammad Saw, masyarakat kaum musyrik di Makkah yang telah tinggal sejarahnya karena telah berupaya membunuh Nabi saw, upaya tersebutlah yang dimaksud puncak kebejatan.


 
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
a)   Manusia adalah makhluk hidup yang nyata (terlihat) dengan tingkat intelektual yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Dan kedudukannya adalah Al-Basyr , Al-Insan,  Al-Nas, Bani Adam,  Al-Ins, Abd. Allah, Khalifah Allah.
b)   Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu dari yang kecil sampai yang besar yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas,dan hidup bersama. Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya. Mereka melangkah berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut.
c)    Hukum kemasyarakatan sedikit banyak disinggung dalam al-qur’an yaitu antara lain adalah tentang perubahan sosial, tanggung jawab kolektif, dan usia karena cepat atau lambat ajal pasti akan menjemput nyawa.



2.      Daftar Pustaka

Bintu Syati, Aisyah. 1999. Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Departemen Agama RI. 2002. Al Qur’an Dan Terjemahannya.  Jakarta: Rineka Cipta.
Departemen Agama RI. 1981. Al Qur’an Dan Terjemahannya. jakarta: Proyek pengadaan kitab suci Al-Qur’an.
Departemen Agama R.I. 2004. Al-Qur’an an terjemahny. Bandung: CV Jumanatul ALI-ART.
Jalaluddin. 2003. Teologi Pendidikan.  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mukti Ro’uf, Abdul. 2008. Manusia Super. Pontianak: STAIN Pontianak Press
Nata, Abuddin. 1997.  Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan
               .1994. Membumikan Al Qur’an. Bandung: Mizan.
http://media.isnet.org/islam/Quraish/wawasan/masyarakat.html
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif lslam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
 











[1] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 12
[2] Aisyah Bintu Syati, 1999, Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, hal.2
[3] Abuddin Nata, 1997, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hal. 31
[4] Ibid., hal. 29
[5] Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, hal. 320
[6] Abdul Mukti Ro’uf, 2008, Manusia Super. Pontianak: STAIN Pontianak Press, hal. 39
[9] Departemen Agama R.I, Al-Qur’an an terjemahnya, Bandung: CV Jumanatul ALI-ART, 2004, Hal. 142
[10]  Ibid., 280
[11] Ahmad Tafsir ,2005, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif lslam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 98
[12] Departemen Agama RI, 2002, Al Qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta: Rineka Cipta, Hal. 116
[13] Departemen Agama RI, Al Qur’an Dan Terjemahannya, jakarta: Proyek pengadaan kitab suci Al-Qur’an, 1981, Hal. 502
[14] Ibid., Hal. 152
[15] Op.Cit., hal. 125
[16] Quraish Sihab, 1994, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, Hal. 245


No comments:

Post a Comment