Menu

Friday, 3 January 2014

MAKALAH ILMU KALAM (ALIRAN MURJI’AH, ASY ’ARIYAH DAN MU’TAZILAH)









            Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kat”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.
            Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
            Pada masa nabi Muhammad berada di Madinah dengan status sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan, umat Islam bersatu di bawah satu kekuasaan politik. Setelah beliau wafat maka muncullah perselisihan pertama dalam Islam yaitu masalah kepemimpinan. Abu Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman pertikaian sesama umat Islam berikutnya terjadi ya pada pembunuhan Usman bin Affan, khalifah ketiga.
            Pembunuhan Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran pemikiran.

FAHAM MURJI’AH, ASY ’ARIYAH DAN MU’TAZILAH
1.      Aliran Murji’ah
A.      Munculnya Aliran murji’ah
Aliran murji’ah adalah ailran Islam yang muncul sebagai reaksi terhadap pendapat-pendapat dari aliran Khawarij. Atau dengan kata lain aliran Murji’ah ini adalah aliran yang yang tak sepaham dengan aliran Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khawarij. Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tidak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin 'Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan) yang dipelopori Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib dan kelompok ekstrem (berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati.) dipelopori Jaham bin Shofwan.



B.       Ajaran-ajaran pokok aliran Murji'ah
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
1.      Iman itu adalah tashdiq saja atau pengetahuan hati saja atau iqrar saja. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari.
2.      Amal itu tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak pula masuk dalam bagiannya.
3.      Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
4.      Orang yang berbuat maksiat tetap dikatakan Mu’min kamilul Iman ( mukmin yang sempurna imannya) sebagaimana sempurnanya tashdiq mereka (tidak dapat tergoyahkan dengan apapun) dan di akhirat kelak ia tidak akan masuk neraka.
5.      Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat melihatnya diakhirat nanti. (Ini seperti pemahaman Mu’tazilah)
6.      Sesungguhnya Imamah itu tidak wajib, kalaupun Imamah itu ada, maka Imamnya itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy. (dalam masalah ini pemahamannya seperti Khawarij).
7.      Bodoh kepada Allah itu adalah kufur kepada-Nya.
2.      Aliran Asy ’Ariyah
A.      Munculnya Aliran Asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan umat Islam. Mu’tazilah pada masa al Ma’mun melakukan mihnah yang mendapat tanggapan negatif dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya sedikit memudar di mata masyarakat.
Aliran Asy’ariyah diambil dari nama pendirinya yaitu Abu Al Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari.
Al Asy’ari adalah seorang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia menyelami ajaran-ajaran Mu’tazilah melalui gurunya,  Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya, maka ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti forum diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi terampil dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri, namun ia sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga pada usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan golongan baru, yang akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah.
Pokok-pokok pemikiran Asy’ariyah terus berkembang. Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi Asy’ariyah telah menjadi keyakinan seluruh anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang menjadikannya sebagai mazhab resmi negara.
B.     Ajaran-ajaran aliran asy’ariyah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
2. Al-Qur’an adalah kalamullah yang tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim.
3. Manusia dapat melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apapun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
3.  Aliran Mu’tazilah
A.   Munculnya Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazila merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Pada awal berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut sebagai kaum Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl al-tauhid wa al-adl.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijriyah di Basrah (Irak) Pada waktu itu banyak orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik yang berasal dari dalam Islam sendiri (orang-orang yang baru masuk Islam tetapi masih membawa aqidah agama lama) atau luar Islam. Di samping itu umat Islam pada saat itu sudah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Dan aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih dangkal dan sulit dipersatukan. Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan nama ahlu al-tauhid wa al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam.
Mu’taazilah timbul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan Murji’ah mengenai persoalan dosa besar seorang muslim. Adalah Waasil bin Atha’ yang kecewa dengan gurunya Hasan Al-Basri, dan menyatakan bahwa seorang muslim yang berdosa besar menempati posisi di antara dua posisi (al-manzilu baina manzilatain), artinya, ia tidak bisa disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut sebagai kafir, akan tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.
Dalam perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal sehingga ia sering disebut sebagai aliran rasionalistik. Dalam pandangannya, akal sebagai karunia terbesar Tuhan mempunyai fungsi yang luar biasa untuk memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga ia merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh akrena itu bagi Mu’taazilah, keraguan adalah sebagai metode untuk mencari kebenaran. Keraguan yang dipergunakan bukan keraguan yang sungguh-sungguh, melainkan hanya sebagai suatu metode untuk menemukan suatu kebenaran.
Pada awal berdirinya, Mu’tazilah tidak banyak mendapat simpati, karena masyarakat awam sulit menerima dan memahami ajaran-ajaran yang rasionalistik ini. Mu’tazilah baru menjadi besar dan mendapat banyak pengikut pada zaman pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah menjadi mazhab resmi negara.
Aliran Mu’taazilah mulai menurun pada masa Al Mutawakil. Keadaan ini semakin memburuk bagi Mu’tazilah ketika Al Mutawakil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah dan digantikan dengan mazhab Asy’ariyah.
A.    Ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah
Pada prinsipnya Mu’tazilah mempunyai lima hal pokok dalam pandangannya, yang populer disebut af’al al-ushul al-khamsah, yakni; al-Tauhid, al-Adl, al-Manzilu baina manzilatain, al-wa’du wa al-wa’id, dan amar ma’ruf nahi munkar.
1.    Al Tauhid
Tuhan, menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat qadim. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan menunjukkan bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu. Padahal Allah itu maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak terbilang. Tuhan tidak berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom). Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat disebut sebagai syirik.
Kalaupun dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan mengetahui, berkehendak, berkuasa dan sebagainya, itu tidak lain tak terlepas dari zatnya. Abu Huzail memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan mengetahui adalah mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuannya adalah zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan itu hidup dengan kehidupan dan kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu seterusnya.
2.    Al Adl
Manusia diciptakan Tuhan dengan membawa kemerdekaan pribadi. Ia mempunyai daya untuk berbuat sesuatu dengan bebas. Perbuatan-perbuatan yang ia lakukan adalah kehendak dirinya dan bukan kehendak siapapun, termasuk Tuhan. Manusia dapat berbuat baik ataupun buruk adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri, karena ia mempunyai daya untuk itu. Sedangkan daya (istita’ah) terdapat dalam diri manusia sebelum ia melakukan suatu perbuatan. Sebagaimana diterangkan oleh Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia.
Dengan melihat bahwa manusia bebas berbuat baik artaupun buruk, taat ataupun maksiat, iman ataupun kufur, maka manusia berhak untuk menerima balasan yang sesuai dengan amalnya. Artinya, Tuhan dituntut untuk berbuat keadilan, untuk yang berbuat baik, maka Tuhan harus menganugerahinya dengan pahala dan surga, sedangkan untuk yang berbuat buruk maka Tuhan harus mengukum,nya dengan siksa dan dosa. Jika Tuhan tidak berbuat demikian maka Tuhan dikatakan tidak adil.
3.    Al Manzilu baina al-Manzilatain
Prinsip ini berlatarbelakang kedudukan orang mu’min yang melakukan dosa besar. Menurut beberapa aliran sebelumnya, Khawarij, misalnya, mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar maka ia adalah disebut kafir, karena itu wajib dibunuh. Pendapat ini ditentang oleh kaum murji’ah yang mengatakan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap seorang mu’min. Dari berbagai pendapat ini, Washil bin Atha’ merasa tidak puas, sehingga ia mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah seorang kafir dan bukan pula seorang muslim tetapi adalah fasiq.
4.    Al Wa’du wa al Wa’id
Bagi Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh manusia dapat diartikan bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi mutlak. Ketidakmutlakan ini disebabkan oleh adanya kebebasan yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan Tuhan serta janji-janji Tuhan serta hukum alam yang tidak berubah-ubah, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an.
Kebebasan yang didapat manusia baru akan mempunyai makna jika Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlaknya. Sebab, kebebasan menurut mu’taazilah membawa konsekwensi bahwa Tuhan harus membalas perbuatan manusia atas dasar perbuatan manusia itu sendiri, sebagaimana janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an.
Telah banyak janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an. Semisal bagi orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan sesuai kebaikannya dan yang melakukan kejahatan akan menerima balasan sesuai dengan perbuatannya pula. Dengan demikian Tuhan haruslah menepati janji-janji yang telah disebutkannya sendiri, jika tidak, maka Tuhan tidak menepati janjinya.
5.    Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Benar bahwa manusia bebas berkehendak sesuai dengan keinginannya, namun wajib pula bagi manusia untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Sebagai khalifah di bumi dan telah diberi anugerah berupa akal dan daya yang tidak dimiliki makhluk lain, manusia seharusnya berupaya pula untuk mencegah orang lain berrbuuat kejahatan dan mengajaknya kepada kebaikan-kebaikan, serta memberikan atau menularkan pikiran-pikirannya kepada orang lain.


No comments:

Post a Comment