Asal usul
Mu’tazilah
Mu’tazilah yang berasal dari bahasa
Arab اعتزل)) berarti : menjauhkan, mengenyampingkan atau memisahkan.
Sedang penamaan
Mu’tazilah yang menggambarkan asal usulnya terdapat perbedaan pendapat :
Al Syahrastani menjelaskan bahwa
nama Mu’tazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin ‘ Atho dengan
teman-temannya ‘Amr bin Ubaid. Keduanya dikenal sebagai pengikut pengajian
Hasan Basri yang setia, tetapi pada suatu hari datang salah seorang menanyakan
tentang kedudukan pelaku dosa besar. Hasan Basri baru berpikir, tiba-tiba
Washil bin ‘Atho mengemukakan pandangannya bahwa orang yang melakukan dosa
besar tidak kafir dan tidak pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya.
Setelah itu ia meninggalkan pengajian, maka Hasan Basri mengatakan bahwa Washil
bin ‘Atho menjauhkan diri dari kita (I’tazala) dan pengikutnya dinamakan
Mu’tazilah.
Al Baghdadi menambahkan bahwa bukan
masalah dosa besar saja Mu’tazilah berbeda pendapat dengan gurunya, tetapi juga
masalah qadar, sehingga memisahkan diri dan membentuk pengajian sendiri.[3] Al
Mas’udi mengemukakan pendapat yang sama bahwa mereka disebut kaum Mu’tazilah
karena pendapatnya yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar berada pada posisi
di antara mukmin dan kafir (al-manzilat baina manzilatain). Kemudian
Jarallah memperkuat dengan mengemukakan bahwa pendapat Mu’tazilah tentang
pelaku dosa besar bukan kafir mutlak dan bukan pula mukmin mutlak, melainkan
fasik.
Ahmad Amin
mengemukakan:
a. Dikatakan Mu’tazilah didasarkan pada
peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya
b. Disebut Mu’tazilah karena mempunyai
pandangan yang berbeda dengan orang-orang terdahulu mengenai kedudukan pelaku
dosa besar
c. Nama Mu’tazilah diberikan kepadanya
karena pendapatnya yang keluar dari apa yang dianut oleh sebagian besar kaum
muslimin tentang pelaku dosa besar
d. Nama Mu’tazilah sebenarnya sudah dikenal
beberapa tahun sebelum peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya Hasan Basri.
Nama tersebut diberikan kepada golongan yang tidak mau terlibat pada pertikaian
antara kelompok Usman bin Affan dengan kelompok Ali bin Abi Thalib.
Tampaknya Ahmad
Amin membagi dua kelompok aliran Mu’tazilah, kelompok pertama bercorak teologi,
yakni terlibat dalam pembahasan mengenai pokok-pokok ajaran agama berdasarkan
pemikiran, sementara kelompok kedua bercorak politik. Meskipun demikian, baik
kelompok pertama maupun kelompok kedua berarti memisahkan diri karena tidak
termasuk dalam kelompok yang ada pada masanya.
Pandangan Ahmad
Amin tentang kelompok Mu’tazilah kedua
ada kemiripan dengan pandangan Orientalis, yaitu Nallino, seperti yang dikutip
oleh Harun Nasution bahwa Mu’tazilah tidak mengandung pengertian memisahkan
diri dari umat Islam lainnya, tetapi merupakan golongan yang mempunyai
pandangan yang bersifat netral antara pandangan Khawarij dan Murji’ah. Di
samping itu, antara kelompok Mu’tazilah pertama dengan kedua merupakan satu
rangkaian.
Berbeda dengan
pandangan Goldziher yang dikutip oleh Fazlur Rahman bahwa Mu’tazilah tidak suka
terlibat dalam pertentangan apapun, sehingga nama Mu’tazilah berasal dari
bahasa Arab berarti absen dari, menjadi netralis, berada di sisi, menunjukkan
kepada sifat mereka yang salah dan tidak suka ikut campur dalam pertentangan
pendapat.
Golongan lain
menamakan Mu’tazilah dengan Mu’attilah karena menafikan sifat-sifat Tuhan,
tetapi mereka sendiri menamakan dirinya dengan Ahli Keadilan dan Keesaan ( Ahlu
al Adl wa Al Tauhid).
b. Corak
Pemikirannya
Aliran
Mu’tazilah dikenal sebagai golongan tradisional dalam Islam, karena di antara
yang ada, dialah yang paling banyak memberi fungsi terhadap akal dalam membahas
masalah keagamaan. Namun demikian, untuk mengetahui secara jelas corak
pemikiran aliran Mu’tazilah, maka yang menjadi pembahasan utama dalam persoalan
tersebut adalah peranan akal dalam kehidupan umat manusia, karena manusia dalam
hidupnya di beri dua hal yang menjadi pedoman baginya agar tidak sesat, yaitu
akal dan wahyu.
Jika diperhatikan pembahasan
tentang fungsi akal dan wahyu dalam kehidupan beragama di kalangan
Mutakallimin, senantiasa dihubungkan dengan 4 masalah pokok, yaitu:
1)
Mengetahui Tuhan,
2) Mengetahui kewajiban Tuhan,
3) Mengetahui baik dan buruk,
4) Mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk.
Aliran Mu’tazilah dalam melihat
masalah tersebut mengatakan bahwa keempat masalah di atas bisa diketahui
aka. Akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan baik dan buruknya
sesuatu sebelum datangnya wahyu, sehingga wajib untuk melakukan penalaran yang
mapan agar dapat mengantar manusia untuk mengetahui kewajiban-kewajibannya.
Karena itu, akal yang sudah sempurna merupakan sumber pengetahuan yang dapat
mengetahui apa yang mendatangkan mudharat dan dosa.
Akal yang sudah
sempurna itu dimiliki oleh orang yang sudah mukallaf, sehingga hanya dialah
yang dapat mengetahui 4 masalah tersebut di atas.
Meskipun demikian, tidaklah berarti
bahwa semua masalah secara rinci dapat diketahui oleh akal, tetapi ada hal-hal
tertentu dimana akal sangat membutuhkan penjelasan wahyu karena akal mempunyai
keterbatasan, yaitu dalam perincian terhadap baik dan buruk serta kewajiban
umat manusia.
Al Jabbar menjelaskan bahwa akal
hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk serta kewajiban, sehingga
wahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal tersebut, termasuk menjelaskan
cara berterima kasih kepada Tuhan, seperti shalat, zakat, dan puasa. Karena
itu, ada pengetahuan baik yang diketahui oleh akal dan ada yang diketahui oleh
wahyu, begitu pula dalam hal yang buruk.
Fungsi lain dari wahyu dalam
pandangan aliran Mu’tazilah dikemukakan oleh al Syahrastaniy yaitu mengingatkan
manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya. Di sini
dapat dipahami bahwa jika melalui akal memerlukan waktu yang lama karena harus
ada pengamatan, kemudian dipikirkan lalu mengambil keputusan.
Oleh Harun Nasution dikatakan bahwa
fungsi wahyu terhadap akal sebagai informasi dan konfirmasi. Memberikan
informasi terhadap apa yang belum diketahui oleh akal di samping
mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui akal.
Aboe Bakar Atjeh menjelaskan
tentang fungsi akal bagi aliran Mu’tazilah yaitu akal dapat menjangkau segala
persoalan kehidupan manusia, sehingga apa yang dihasilkan oleh akal harus di
terima. Jika terjadi pertentangan antara hasil akal dengan ketentuan wahyu,
misalnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, maka harus di ta’wilkan agar sesuai
dengan ketentuan akal. Meskipun demikian, aliran Mu’tazilah tidak
meninggalkan aturan.
c. Mu’tazilah
dan peristiwa Mihnah
Mihnah berarti cobaan atau ujian
yang diberikan kepada aparat negara dan ahli hadis untuk mengetahui faham
mereka. Ujian ini dilakukan oleh Mu’tazilah yang pada masa pemerintahan
Daulah Abbasiyah (813-847 M) yaitu masa khalifah al Makmun, al Mu’tashim dan al
Watsiq, Mu’tazilah mengalami perkembangan dan kejayaan karena mendapat dukungan
dari khalifah dan dinyatakan sebagai mazhab resmi pemerintah. Al Makmun sendiri
termasuk murid Abu Huzail al Dual (salah
seorang tokoh Mu’tazilah dan bermaksud mengembangkan ajaran Mu’tazilah melalui
kekuasaanya)
Untuk melaksanakan gagasan yang
terkenal dalam sejarah peristiwa al Mihnah ini, khalifah al Makmun dengan
kekuasaannya mulai menerapkan dengan mengirim surat (instruksi) kepada gubernur-gubernurnya
agar mengadakan Mihnah terhadap para qadhi yang berada dalam wilayah hukumnya.
Pada saat itu khalifah sedang berada di luar kota Baghdad di kota Tarsus. Yang
menjadi gubernur Baghdad ketika itu ialah Ishaq bin Ibrahim, isi surat tersebut
agar para gubernur mengadakan penyelidikan terhadap para qadhi di daerahnya.
Bagi mereka yang mengakui khalqu al Qur’an dan bersifat baru tidak qadim akan
diberikan kepercayaan untuk melakukan mihnah terhadap orang lain. Instruksi
mengadakan mihnah ini di Mesir cepat usai, tetapi di Kuffah kebanyakan
masyarakat menentang kebijaksanaan khalifah.
Pada langkah pertama terbatas
kepada tindakan pemecatan dan tidak diberikannya kepada orang-orang yang tidak
mau mengakui diciptakannya al Qur’an tidak sampai terjadi penganiayaan.
Selanjutnya perintah khalifah kepada Gubernur Ishaq bin Ibrahim agar
mengirimkan kepadanya tujuh orang pemuka ahli hadis untuk di uji sendiri oleh
khalifah sendiri mereka itu Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim Yazid bin Harun, Yahya
bin Ma’in, Zubair bin Harb dan Ahmad bin al-Dauraqi. Hal ini dengan
pertimbangan agar para pemimpin di daerah yang berpendapat bahwa al Qur’an itu
qadim, mereka akan takut dan dengan mudah mengikuti pendapat khalifah tanpa
terjadi fitnah. Bagi mereka yang mau mengakui bahwa al Qur’an itu qadim, mereka
akan dibebaskan kembali ke negerinya (Baghdad) supaya mereka menyampaikan
kepada para ahli hadis dan fiqih di daerah mereka.
Pada kesempatan ini Ahmad bin
Hanbal tidak diikut sertakan, melainkan dipanggil secara khusus untuk dihadapi
oleh Ahmad bin Abi Daud Qadhi (advokat) kenamaan dalam urusan Mihnah. Karena
Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sangat keras menentang faham Mu’tazilah terutama
khalqu al Qur’an.
Pada langkah kedua, khalifah tidak
melepaskan para ahli hadis dan ahli fiqih yang tidak mau mengakuinya. Hal ini
dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan dan memurnikan tauhid mereka, ibarat
mengembalikan mereka dalam kekafiran.
Jika perlu bagi mereka yang tetap
konsisten dan membangkang akan dibunuh sebagaimana membunuh orang yang murtad
dari agamanya, karena mereka adalah anutan masyarakat yang harus menjadi
contoh, karena itu imannya haruslah benar. Berikut Ishaq bin Ibrahim
mengumpulkan/memanggil 30 orang qadhi/ahli hadis dan ahli fiqih untuk diadakan
mihnah bagi mereka. Dalam ujian ini semuanya mengakui kebaruan al Qur’an,
kecuali hanya 4 orang yaitu: Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh, Sajadah dan
Qawarir. Mereka yang mengakuinya dibebaskan dan keempat orang tersebut dibelenggu.
Beberapa hari kemudian, ketika diadakan mihnah kembali, mereka mengakui khalqu
al Qur’an itu kecuali Imam Ahmad bin Hanbal, maka dilepaslah kesemuanya kecuali
Imam Ahmad bin Hanbal.
Penahanan Imam Ahmad bin Hanbal dan
kemudian penahanan ke Tarsus, ia tidak dibunuh karena dikhawatirkan akan ada
fitnah yang lebih besar karena banyaknya pengikut dan simpatisan dari kaum
muslimin sampai tiba waktu terdengar berita tentang meninggalnya al Makmun,
tetapi tidaklah ringan penderitaan Imam Ahmad bin Hanbal ini, karena sebelum
khalifah meninggal ia telah mewasiatkan kepada keluarganya (al Mu’tashim) agar
meneruskan ide dan kebijaksanaan ini (khalqu al Quran dan al mihnah), dan di
ingatkan pula supaya selalu berkonsultasi dengan Ahmad bin Abi Daud.
Ahmad bin Hanbal tetap juga dengan
pendiriannya meskipun dengan pukulan dan cambukan, di dalam riwayat Mas’udi,
beliau dicambuk dengan cemeti 30 kali sampai berlumuran darah. Ahmad bin Abi
Daud dan khalifah mengajak sang Imam ini
untuk berdialog langsung dan di uji pula dengan penguji-penguji lainnya, namun
Imam Ahmad bin Hanbal tetap pada pendiriannya semula sampai digantikannya
khalifah dengan khalifah al Watsiq.
Pada masa khalifah al Watsiq,
beliau di usir dan tidak boleh ditengok oleh siapapun. Ahmad bin Hanbal
bersembunyi tidak keluar sama sekali, baik untuk shalat maupun keperluan lain
sampai ia meninggal dunia.
Pada masa pemerintahan al Watsiq
ini, al Mihnah tidak lagi hanya berlaku pada qadhi dan ulama-ulama ahli tapi
juga diberlakukan lebih luas lagi seperti guru-guru, muadzin, penjaga masjid
dan lain-lainnya sampai khalifah wafat dan digantikan dengan al Mutawakkil.
d.
Ajaran-ajaran Mu’tazilah
1) Al Tauhid
Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul
Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Ia menolak paham
anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan
juga menolak paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk
menjaga kemurnian Kemahaesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang
mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak
diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya. Mu’tazilah
membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan,
disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al Qadim – al Hayy dan lain
sebagainya
b. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan
Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang mengandung arti hubungan antara
Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah – Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat
tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha
Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan
sifat tidak terpisah.
Pandangan
tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa :
penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir
2) Al ‘Adl
Paham keadilan dimaksudkan untuk
mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena
Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk
mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan
mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al
Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan
lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi
manusia.
Keadilan Tuhan menuntut kebebasan
bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan
Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan
Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya.
3) Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan
dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat buruk, karena
itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya
:“Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan
lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah,
niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
4) Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di
antara dua tempat)
Posisi menengah dalam ajaran
Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat
dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw,
tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna,
maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan
tetapi di akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat bagi orang-orang
yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan orang-orang
kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang kafir. Jadi
lebih ringan dari orang kafir
5) Amar Ma’ruf , Nahi Munkar.
Perintah berbuat baik dan mencegah
kemungkaran adalah suatu kebajikan bagi semua umat Islam. Seruan amar ma’ruf
nahi munkar bisa dilakukan dengan hati, tetapi jika memungkinkan dapat
dilakukan dengan seruan bahkan dengan tangan dan pedang. Hal ini sesuai dengan
hadis Nabi yang artinya :
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya
dengan tangan, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu
maka dengan hati, itulah serendah-rendahnya iman”.
e. Tokoh-tokoh
aliran Mu’tazilah.
Tokoh aliran Mu’tazilah banyak
jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran sendiri yang berbeda
dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga
masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri. Dari segi geografis, aliran
Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran
Mu’tazilah Baghdad. Aliran Mu’tazilah Basrah lebih dahulu munculnya, lebih
banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama-tama mendirikan aliran
Mu’tazilah.
Perbedaan antara kedua aliran
Mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan
kulturil. Kota Basrah lebih dahulu didirikan daripada kota Baghdad, dan lebih
dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama. Dalam pada itu,
meskipun Baghdad kota terbelakang didirikan, namun menjadi ibukota khilafat
Abbasiyah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang
ditulis oleh A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah
Baghdad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di
Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi
tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain. Aliran
Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran
Baghdad sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan
banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak
mengambil soal-soal yang telah dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas
pembahasannya.
Tokoh-tokoh aliran Basrah: al
Washil bin ‘Atho, al ‘Allaf, An Nazzham dan Jubba’i. Tohoh-tokoh aliran Baghdad
antara lain : Bisyr bin al Mu’tamir, al Khayyat. Kemudian pada masa-masa
berikutnya lagi ialah Qadhi Abdul Jabar dan az Zamakhsyari. Uraian berikut ini
didasarkan atas urut-urutan geografis dan kronologis.
1. Washil bin ‘Atha (699-748 M)
Nama lengkapnya Washil bin ‘ Atha al
Ghazzal, ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah yang pertama dan peletak
lima besar ajaran Mu’tazilah
2. Abu Huzail al ‘Allaf (226 H/841 M)
Abu Huzzail al ‘Allaf adalah
pendiri yang sebenarnya bagi aliran Mu’tazilah. Ia mengembangkan
pandangan-pandangan Mu’tazilah dan meramunya dengan informasi-informasi baru.
Atas prakarsanya, tidak sedikit lahir tokoh besar Mu’tazilah. Ia dilahirkan di
Basrah dan lama berdomisili di kota ini. Al ‘Allaf pernah diundang ke Baghdad
untuk beberapa waktu, ia diberi umur panjang, hidup sekitar 100 tahun lamanya.
Hidup sezaman dengan gerakan penerjemahan Islam yang terbesar. Berhubungan
dengan kebudayaan asing. Kelebihan al ‘Allaf ialah karena punya pengetahuan
luas, pemikiran mendalam, lisan fasih, argumentasi yang kuat, dan Pendebat
aliran dualisme dan rafidah. Seringkali dalam perdebatan al ‘Allaf berhasil
membungkam lawannya. Ia begitu terampil dalam diskusi-diskusinya hingga mampu
mematahkan (argumentasi) lawan, bahkan berhasil menarik kaum penentang untuk
memeluk Islam. Al ‘Allaf menulis dan mengarang banyak buku, sayangnya kira-kira
itu tidak diselamatkan dan musnah dimakan zaman, yang dalam masalah ini ia
sampai pada sejumlah pandangan yang keras dan aneh, sehingga menjadi topik
kritik pro dan kontra. Al ‘Allaf merupakan orang pertama dari kalangan kaum
muslimim yang serius terjun menggeluti problematika ketuhanan, yang dibalut
dengan label filosofis.
3. Al Nazzam (231 H/ 845 M)
Al Nazzam
adalah filosof pertama dari kalangan Mu’tazilah yang paling mendalam
pikirannya. Paling berani, paling banyak berfikir merdeka di samping orisinil
pendapatnya di antara mereka. Al Nazzam adalah anak saudara perempuan al ‘Allaf
dan muridnya sekaligus. Belajar kepadanya kemudian memberontak dan berfikir
merdeka. Al Nazzam sejalan dengan al ‘Allaf dalam hal keluasan cakrawala,
kefasihan lisan dan kekuatan berargumentasi. Ia dilahirkan dan dibesarkan di
Basrah, kemudian mengembara di pusat-pusat peradaban Islam kemudian ia
berdomisili di Baghdad. Ia tidak diberi umur panjang seperti gurunya al ‘Allaf
. Di antara pendapat yang kuat mengatakan bahwa ia meninggal pada usia 60-70
tahun. Berkat kecerdasannya ia mampu menguasai dan mengkritik teori-teori yang
berkembang di sekitarnya, dan membawa kesimpulan baru.
4. Abu Hasyim al Jubba’i (321 H/ 932 M)
Al Jubba’i adalah tokoh besar
terakhir dari kalangan Mu’tazilah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah. Ia
belajar kepada ayahnya, kemudian memisahkan diri darinya, berbeda pendapat
dengannya lalu mendirikan kelompok khusus. Ia hidup sezaman dengan al Farabi
dan sebagian kaum paripatetik Arab dan terpengaruh mereka . Teorinya tentang al
Ahwal (kondisi-konsisi), merupakan saksi terbaik yang membuktikan anggapan itu.
Al Jubba’i berusaha untuk menolak sebagian teori kosmologi yang dikemukan oleh
Aristoteles.
5. Bisyr bin Al Mu’tamir (226 H/ 840 M)
Ia adalah
pendiri aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangan-pandangannya mengenai
kesusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya “al
Bayan wa al Tabyin”, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang
pertama-tama mengadakan ilmu Balaghah
Beberapa
pendapatnya tentang paham Mu’tazilah hanya sedikit saja yang sampai kepada
kita. Ia adalah orang-orang yang pertama mengemukakan soal tawallud
(reproduction) yang boleh dimaksudkan
untuk mencari batas-batas pertanggung jawab manusia atas perbuatannya.
Di antara
murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran paham-paham ke-Mu’tazilahan di Baghdad ialah
Abu Musa al Mudar, Tsumamah bin al Asyras dan Ahmad bin Fuad.
6. Al Khayyat (303 H/ 925 M)
Ia adalah Abu
Husein al Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad dan pengarang buku ‘al
Intisar’ yang dimaksudkan untuk membela aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu al Rawandi. Ia hidup pada
masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
7. Al Qadhi Abdul Jabbar (1024 M di Ray)
Ia juga hidup
pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi
al qudhat) oleh Ibnu ‘Abad. Di antara karangan-karangannya ialah ulasan
tentang pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah terdiri dari beberapa jilid, dan
banyak dikutip oleh as Syarif al Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan
di Kairo dengan nama “al Mughni”.
8. Az Zamakhsyari (467-538 H/ 1075-1144 M)
Namanya Jaar Allah Abul Qasim
Muhammad bin Umar, kelahiran Zamakhsyar, sebuah dusun di negeri Khawarazm
(sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Sebutan Jaarullah yang berarti tetangga Tuhan, dipakainya karena ia
lama tinggal di Mekah dan bertempat di
sebuah rumah dekat Ka’bah. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan, dari
negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Mekkah untuk bertempat di sana
beberapa tahun lamanya dan akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia
menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Pada diri al Zamakhsyari sekumpulan
karya alran Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam
ilmu tafsir, nahwu (grammatika) dan paramasastera (lexicology) seperti yang
dapat kita lihat dalam tafsirnya ‘al Kassyaf’ dan kitab-kitab lainnya, seperti
“al Fa-iq, Assaul Balaghahdan al Mufassal”.
Ia dengan terang-terangan
menonjolkan paham ke-Mu’tazilahannya dengan dituliskan dalam buku-bukunya,
serta dikemukakannya dalam pertemuan-pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya ‘al
Kassyaf’, ia telah berusaha sekuatnya untuk menafsirkan ayat-ayat al Quran
berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama lima prinsip, yaitu Tauhid,
Keadilan, Janji dan Ancaman, Tempat di antara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi
Munkar.
2.
Latihan-latihan
Jawablah
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
a. Jelaskan asal usul penamaan Mu’tazilah
b. Bagaimana corak pemikiran Mu’tazilah
c. Apa yang dimaksud dengan Mihnah
d. Masalah apa yang diangkat Mu’tazilah
dalam Mihnah
e. Jelaskan ajaran-ajaran Mu’tazilah
f. Sebutkan tokoh-tokoh Mu’tazilah
3. Rangkuman
Mu’tazilah adalah nama yang
diberikan kepada peristiwa Washil bin ‘Atha dengan gurunya yang meninggalkan
pengajian karena tak sependapat dalam hal pelaku dosa besar. Sementara mereka
sendiri menamakan Ahlu al Adl Wattauhid.
Aliran Mu’tazilah dikenal sebagai
aliran rasional dalam Islam karena memberi peran akal lebih besar, sehingga
dalam ajaran-ajarannya berbeda pendapat dengan golongan Ahlussunnah Wal
Jama’ah, seperti penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan, pelaku dosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir. Tuhan wajib menepati janji dan amanahNya, dan al Qur’an
adalah makhluk.
No comments:
Post a Comment