Berbicara
masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kat”. Kaum teolog Islam berdebat dengan
kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog
disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu
kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.
Perbedaan yang pertama muncul dalam
Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan
politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan
teologi.
Pada masa nabi Muhammad berada di
Madinah dengan status sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan, umat
Islam bersatu di bawah satu kekuasaan politik. Setelah beliau wafat maka
muncullah perselisihan pertama dalam Islam yaitu masalah kepemimpinan. Abu
Bakar kemudian terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad
diikuti oleh Umar pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman
pertikaian sesama umat Islam berikutnya terjadi ya pada pembunuhan Usman bin
Affan, khalifah ketiga.
Pembunuhan Usman berakibat
perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama menuduh yang kedua
sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah keempat oleh
masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga memperebutkan posisi
kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak diturunkan dari jabatannya
sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah starting point dari konflik
politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam kelompok-kelompok aliran
pemikiran.
1.
Aliran Murji’ah
A. Munculnya
Aliran murji’ah
Aliran
murji’ah adalah ailran Islam yang muncul sebagai reaksi terhadap
pendapat-pendapat dari aliran Khawarij. Atau dengan kata lain aliran Murji’ah
ini adalah aliran yang yang tak sepaham dengan aliran Khowarij. Ini tercermin
dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khawarij. Pengertian murji'ah sendiri
ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan
Allah SWT kelak. Jadi, mereka tidak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa
besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa
hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam
kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi
Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan
agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang
membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal
Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin 'Umar. Dalam perkembangan selanjutnya,
aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di
hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan) yang dipelopori Hasan bin Muhammad bin 'Ali
bin Abi Tholib dan kelompok ekstrem (berpendapat bahwa orang Islam yang
percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah
menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati.) dipelopori
Jaham bin Shofwan.
B. Ajaran-ajaran pokok aliran
Murji'ah
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok
Murji'ah adalah:
1.
Iman itu adalah tashdiq
saja atau pengetahuan hati saja atau iqrar saja. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam
perbuatan sehari-hari.
2.
Amal itu tidak masuk dalam hakekat
iman dan tidak pula masuk dalam bagiannya.
3.
Iman tidak bisa bertambah atau
berkurang.
4.
Orang yang berbuat maksiat tetap
dikatakan Mu’min kamilul Iman ( mukmin yang sempurna imannya)
sebagaimana sempurnanya tashdiq mereka (tidak dapat tergoyahkan dengan
apapun) dan di akhirat kelak ia tidak akan masuk neraka.
5. Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat
melihatnya diakhirat nanti. (Ini
seperti pemahaman Mu’tazilah)
6.
Sesungguhnya Imamah itu tidak wajib, kalaupun Imamah itu ada, maka Imamnya
itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy. (dalam
masalah ini pemahamannya seperti Khawarij).
7.
Bodoh kepada Allah itu
adalah kufur kepada-Nya.
2.
Aliran Asy ’Ariyah
A. Munculnya
Aliran Asy’ariyah
Aliran
ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang dianggap menyeleweng
dan menyesatkan umat Islam. Mu’tazilah pada masa al Ma’mun melakukan mihnah
yang mendapat tanggapan negatif dari berbagai golongan, sehingga pengaruhnya
sedikit memudar di mata masyarakat.
Aliran Asy’ariyah
diambil dari nama pendirinya yaitu Abu Al Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar
Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir
bin Abi Musa Al-Asy’ari.
Al
Asy’ari adalah seorang yang dididik dan dibesarkan di lingkungan mu’tazilah. Ia
menyelami ajaran-ajaran Mu’tazilah melalui gurunya, Al Jubbai. Dengan ketekunan dan kepandaiannya,
maka ia menjadi murid kesayangan Al Jubbai dan sering diutus untuk mengikuti
forum diskusi dan perdebatan Sehingga tak heran kalau ia kemudian menjadi
terampil dalam berdebat dan beradu argumen, termasuk dengan gurunya sendiri,
namun ia sering merasa kecewa dengan jawaban ataupun penjelasan gurunya. Hingga
pada usia 40 tahun, Al Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah mendirikan
golongan baru, yang akhirnya populer dengan nama Asy’ariyah.
Pokok-pokok
pemikiran Asy’ariyah terus berkembang. Bahkan pokok-pokok pemikiran teologi
Asy’ariyah telah menjadi keyakinan seluruh anggota Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah. Aliran
ini semakin besar dengan dukungan Khalifah Al Mutawakkil, yang menjadikannya
sebagai mazhab resmi negara.
B. Ajaran-ajaran aliran
asy’ariyah
Adapun
pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya
ialah:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat dan Tuhan
mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya.
2.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang tidak
diciptakan, tetapi bersifat qadim.
3. Manusia dapat
melihat Allah pada hari kiamat dengan petunjuk Tuhan dan hanya Allah pula yang
tahu bagaimana keadaan sifat dan wujud-Nya.
4.
Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan
diciptakan oleh Tuhan.
5.
Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak
mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji
dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6.
Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti
yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan
bagaimananya, melainkan tidak seperti apapun.
7.
Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba
tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir.
Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
3. Aliran
Mu’tazilah
A. Munculnya
Aliran Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazila merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, yang telah
memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Pada awal
berdirinya, orang-orang yang ada dalam aliran ini enggan disebut sebagai kaum
Mu’tazilah, tetapi ia lebih mempopulerkan dirinya dengan golongan ahl
al-tauhid wa al-adl.
Aliran
Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijriyah di Basrah
(Irak) Pada waktu itu banyak orang-orang yang hendak menghancurkan Islam dari
segi aqidah, baik yang berasal dari dalam Islam sendiri (orang-orang yang baru
masuk Islam tetapi masih membawa aqidah agama lama) atau luar Islam. Di samping
itu umat Islam pada saat itu sudah terpecah menjadi beberapa golongan, yakni
Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah. Dan aliran-aliran itu dalam pemikirannya masih
dangkal dan sulit dipersatukan. Sehingga aliran yang pada awalnya menggunakan
nama ahlu al-tauhid wa al-adl ini perlu menyelamatkan muka Islam.
Mu’taazilah
timbul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan Murji’ah
mengenai persoalan dosa besar seorang muslim. Adalah Waasil bin Atha’ yang
kecewa dengan gurunya Hasan Al-Basri, dan menyatakan bahwa seorang muslim yang
berdosa besar menempati posisi di antara dua posisi (al-manzilu baina manzilatain),
artinya, ia tidak bisa disebut sebagai mu’min tetapi ia juga tidak bisa disebut
sebagai kafir, akan tetapi lebih tepat jika disebut fasiq.
Dalam
perkembangan selanjutnya, aliran Mu’tazilah lebih banyak menggunakan akal
sehingga ia sering disebut sebagai aliran rasionalistik. Dalam pandangannya,
akal sebagai karunia terbesar Tuhan mempunyai fungsi yang luar biasa untuk
memahami ayat-ayat Tuhan, sehingga ia merupakan sumber pengetahuan utama. Oleh
akrena itu bagi Mu’taazilah, keraguan adalah sebagai metode untuk mencari
kebenaran. Keraguan yang dipergunakan bukan keraguan yang sungguh-sungguh,
melainkan hanya sebagai suatu metode untuk menemukan suatu kebenaran.
Pada
awal berdirinya, Mu’tazilah tidak banyak mendapat simpati, karena masyarakat
awam sulit menerima dan memahami ajaran-ajaran yang rasionalistik ini.
Mu’tazilah baru menjadi besar dan mendapat banyak pengikut pada zaman
pemerintahan Al-Makmun, bahkan telah menjadi mazhab resmi negara.
Aliran
Mu’taazilah mulai menurun pada masa Al Mutawakil. Keadaan ini semakin memburuk
bagi Mu’tazilah ketika Al Mutawakil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah dan
digantikan dengan mazhab Asy’ariyah.
A. Ajaran-ajaran aliran Mu’tazilah
Pada
prinsipnya Mu’tazilah mempunyai lima hal pokok dalam pandangannya, yang populer
disebut af’al al-ushul al-khamsah, yakni; al-Tauhid, al-Adl, al-Manzilu baina
manzilatain, al-wa’du wa al-wa’id, dan amar ma’ruf nahi munkar.
1. Al
Tauhid
Tuhan,
menurut Mu’tazilah, tidak mempunyai sifat-sifat yang mempunyai wujud di luar
zatnya. Tuhan tidak mungkin diberikan sifat-sifat yang mempunyai wujud
tersendiri dan kemudian melekat pada zat Tuhan. Karena zat Tuhan bersifat
qadim. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat yang qadim, maka akan
menunjukkan bahwa Allah itu berbilang-bilang atau Tuhan lebih dari satu.
Padahal Allah itu maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, tidak ada yang
menyerupai-Nya dan tidak seperti apapun zat Tuhan hanyalah satu (Esa) tidak
terbilang. Tuhan tidak berjisim, bersifat, berunsur serta berjauhar (atom).
Dengan demikian apabila ada pandangan bahwa Tuhan bersifat maka orang itu dapat
disebut sebagai syirik.
Kalaupun
dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Tuhan mengetahui, berkehendak, berkuasa dan
sebagainya, itu tidak lain tak terlepas dari zatnya. Abu Huzail memberikan
pendapatnya bahwa yang dimaksud Tuhan mengetahui adalah mengetahui dengan
pengetahuan, dan pengetahuannya adalah zat-Nya, Tuhan berkuasa dengan kekuasaan
dan kekuasaan-Nya adalah zatnya, Tuhan itu hidup dengan kehidupan dan
kehidupan-Nya adalah zatnya, dan begitu seterusnya.
2.
Al Adl
Manusia
diciptakan Tuhan dengan membawa kemerdekaan pribadi. Ia mempunyai daya untuk
berbuat sesuatu dengan bebas. Perbuatan-perbuatan yang ia lakukan adalah
kehendak dirinya dan bukan kehendak siapapun, termasuk Tuhan. Manusia dapat
berbuat baik ataupun buruk adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri, karena
ia mempunyai daya untuk itu. Sedangkan daya (istita’ah) terdapat dalam diri
manusia sebelum ia melakukan suatu perbuatan. Sebagaimana diterangkan oleh
Abdul Al Jabbar, bahwa yang dimaksud “Tuhan membuat manusia sanggup mewujudkan
perbuatannya” adalah bahwa Tuhan menciptakan daya di dalam diri manusia dan
pada daya inilah tergantung wujud perbuatan itu, dan bukanlah yang dimaksud
bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia.
Dengan
melihat bahwa manusia bebas berbuat baik artaupun buruk, taat ataupun maksiat,
iman ataupun kufur, maka manusia berhak untuk menerima balasan yang sesuai
dengan amalnya. Artinya, Tuhan dituntut untuk berbuat keadilan, untuk yang
berbuat baik, maka Tuhan harus menganugerahinya dengan pahala dan surga,
sedangkan untuk yang berbuat buruk maka Tuhan harus mengukum,nya dengan siksa
dan dosa. Jika Tuhan tidak berbuat demikian maka Tuhan dikatakan tidak adil.
3.
Al Manzilu baina al-Manzilatain
Prinsip
ini berlatarbelakang kedudukan orang mu’min yang melakukan dosa besar. Menurut
beberapa aliran sebelumnya, Khawarij, misalnya, mengatakan bahwa orang Islam
yang melakukan dosa besar maka ia adalah disebut kafir, karena itu wajib
dibunuh. Pendapat ini ditentang oleh kaum murji’ah yang mengatakan bahwa orang
Islam yang melakukan dosa besar, ia tetap seorang mu’min. Dari berbagai
pendapat ini, Washil bin Atha’ merasa tidak puas, sehingga ia mengatakan bahwa
seorang muslim yang melakukan dosa besar bukanlah seorang kafir dan bukan pula
seorang muslim tetapi adalah fasiq.
4.
Al Wa’du wa al Wa’id
Bagi
Mu’tazilah, kebebasan yang diperoleh manusia dapat diartikan bahwa kekuasaan
Tuhan tidak lagi mutlak. Ketidakmutlakan ini disebabkan oleh adanya kebebasan
yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan Tuhan serta janji-janji Tuhan
serta hukum alam yang tidak berubah-ubah, sebagaimana disebutkan dalam al
Qur’an.
Kebebasan
yang didapat manusia baru akan mempunyai makna jika Tuhan membatasi kekuasaan
dan kehendak mutlaknya. Sebab, kebebasan menurut mu’taazilah membawa
konsekwensi bahwa Tuhan harus membalas perbuatan manusia atas dasar perbuatan
manusia itu sendiri, sebagaimana janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al
Qur’an.
Telah
banyak janji-janji Tuhan yang dituangkan dalam al Qur’an. Semisal bagi orang
yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan sesuai kebaikannya dan yang
melakukan kejahatan akan menerima balasan sesuai dengan perbuatannya pula.
Dengan demikian Tuhan haruslah menepati janji-janji yang telah disebutkannya
sendiri, jika tidak, maka Tuhan tidak menepati janjinya.
5.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Benar
bahwa manusia bebas berkehendak sesuai dengan keinginannya, namun wajib pula
bagi manusia untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kebaikan dan
mencegah kemunkaran. Sebagai khalifah di bumi dan telah diberi anugerah berupa
akal dan daya yang tidak dimiliki makhluk lain, manusia seharusnya berupaya
pula untuk mencegah orang lain berrbuuat kejahatan dan mengajaknya kepada
kebaikan-kebaikan, serta memberikan atau menularkan pikiran-pikirannya kepada
orang lain.
No comments:
Post a Comment