Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Pandanganya
Aliran Mu’tazilah telah melahirkan pemuka dan tokoh-tokoh
penting,
Wasil bin Atha
(80-131 H/699-748 M),
Wasil bin Atha’ Al-Ghazal terkenal sebagai pendiri aliran
Mu’tazilah, sekaligus sebagai pemimpinya yang pertama. Dan dia juga terkenal
sebagai orang yang meletakan prinsip pemikiran Mu’tazilah yang rasional.
orang pertama yang meletakan kerangka dasar ajaran
Mu’tazilah. Ajaran pokok yang dicetuskannya ada tiga yaitu, faham al-Manzilah
bain al-Manzilatain, faham Qodariah yang diambil dari Ma’bad dan Gailan, dan
faham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran pokok itu kemudian
menjadi doktrin Mu’tazilah, yakni al-Manzilah bain al-Manzilatain dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan.
Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan PemikirannyaAbu Huzail al-Allaf
(135-235 H),
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad Abu Al-Huzail
Al-Allaf. Ia sebagai pemimpin Mu’tazilah yang kedua di Basrah. Ia banyak
mempelajari filsafat Yunani. Pengetahuanya tentang filsafat memudahkan baginya
untuk menyusun dasar-dasar ajaran Mu’tazilah secara teratur. Pengetahuanya
tentangg logika, membuat Ia menjadi ahli debat. Lawan-lawanya dari golongan
zindiq, dari kalangan majusi, Zoroaster, dan atheis tak mampu membantah
argumentasinya. Menurut riwayat, 3000 orang masuk islam di tanganya. Puncak
kebesaranya di capai pada masa khalifah Al-Makmun, karena khalifah ini pernah
menjadi muridnya.Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
Tokoh-tokoh
Mu’tazilah dan PemikirannyaBisyir Al-Mu’tamir (wafat 226 H)
Ia adalah pemimpin Mu’tazilah di Baghdad. Pandanganya yang
luas mengenahi kasusastraan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah orang yang
pertama menyusun Ilmu Balaghah. Ia adalah seorang tokoh aliran ini yang
membahas konsep tawallud (reproduction) yaitu batas-batas pertanggung jawaban
manusia atas perbuatanya. Ia mempunyai murid-murid yang besar pengaruhnya dalam
penyebaran paham Mu’tazilah, khususnya di Baghdad. Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan
Pemikirannya
An-Nazzam (183-231 H)
Ia adalah murid Abul Huzail Al-Allaf. Ia juga bergaul dengan
para filosof. Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran Mu’tazilah lainya. Dia
memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara lain tentang metode
keraguan dan metode empirika yang merupakan cikal bakal renainssance
(pembaharuan) Eropa.
Al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 869),
Dia adalah pencetus faham naturalisme atau kepercayaan akan
hukum alam yang oleh kaum Mu’tazilah disebut sunnah Allah. Ia antara lain
menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan
oleh manusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum alam.
Al-Jubba’i (w. 302 H)
Nama Al-Jubba’I di ambil dari mana tempat kelahiranya, yaitu
suatu tempat bernama Jubba, di provinsi CHuzestan-Iran. Dia adalah guru imam
Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah. Ketiaka Al-Asy’ari keluar dari
barisan Mu’tazilah dan menyerang pendapatnya, Ia membalas serangan Asy’ari
tersebut. Pikiran-pikiranya tentang tafsiran Al-Qur’an banyak di ambil oleh
Az-Zamakhsyari. Dia dan anaknya yaitu Abu Hasyim Al-Jubba’I mencerminkan akhir
kejayaan aliran Mu’tazilah.
Pendapatnya yang mashur yaitu tentang kalam Allah SWT, sifat
Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai kalam Allah SWT, ia
sependapat dengan an-Nazzam. Mengenai Sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa
Tuhan tidak mempunyai sifat, kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan
mengetahui berarti Dia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui
esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Tentang kewajiban manusia, ia membaginya
kedalam dua kelompok yaitu kewajiban-kewajiban yang diketahui oleh manusia melalui
akalnya (wajibah ‘aqliyah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia
melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wajibah syar’iah).
Sementara itu, daya akal menurut al-Jubba’i sangat besar. Dengan akalnya,
manusia dapat mengetahui adanya Tuhan serta kewajiban bersyukur kepada-Nya.
Akal manusia selanjutnya dapat mengetahui
yang baik dan yang buruk serta mengetahui kewajiban berbuat yang baik
dan meninggalkan yang buruk. Pendapat ini menjadi ajaran Mu’tazilah yang
penting.
Mu’ammar bin Abbad,
Dia adalah pendiri Mu’tazilah aliran Baghdad. Pendapatnya
yang penting yaitu tentang kepercayaan pada hukum alam, sama dengan pendapat
al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi,
sementara al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu
adalah hasil dari hukum alam. Contohnya, jika sebuah batu dilempar kedalam air,
maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi
dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
Bisyr al-Mu’tamir (w. 210 H),
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Baginya, anak kecil tidak diminta pertanggungjawaban atas
perbuatannya diakhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa
besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat
siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
Abu Musa al-Mudrar (w. 226 H),
Dia dianggap pemimpin Mu’tazilah yang ekstrim karena
pendapatnya yang mudah mengkafirkan orang lain. Menurut Syahrastani, menuduh
kafir semua orang yang mempercayai keqadiman al-Quran. Ia juga menolak pendapat
bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala akhirat.
Hisyam bin Amr al-Fuwati,
Dia berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka
hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah
tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya
orang memasuki surga dan neraka.
Sumamah bin Asyras (w. 213 H),
Dia berpendapat bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya telah tersedia daya untuk berbuat.
Tentang daya akal, ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum turunnya wahyu
dapat mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui perbuatan baik dan perbuatan
buruk, wahyu turun untuk memberikan konfirmasi.
Abu al-Hussain al-Khayyat (w. 300 H),
Dia memberikan penafsiran yang berbeda dengan pemuka
Mu’tazilah lainnya tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa
jika Tuhan dikatakan berkehendak, maka kehendak Tuhan itu bukanlah sifat yang
melekat pada zat Tuhan dan bukan pula diwujudkan melalu zat-Nya. Jadi, kehendak
Tuhan itu bukan zat-Nya, melainkan diinterpretasikan dengan Tuhan mengetahui
dan berkuasa mewujudkan perbuatan-Nya sesuai dengan Pengetahuan-Nya.
Al-Qadhi Abdul Jabbar
(w. 1024 H)
Ia dia angkat sebagi hakim oleh Ibnu Abad. Diantara karyanya
yang besar adalah tentang ulasan pokok-pokok ajaran Mu’tazilah. Karangan
tersebut demikian luas dan amat mendalam yang ia namakan Al-Mughni. Kitab ini
begitu besar, satu kitab yang terdiri lebih dari (15) lima belas jilid. Dia
termasuk tokoh yang hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah namun Ia mampu
berprestasi baik dalam bidang keilmuan maupun dalam jabatan kenegaraan.
Az-Zamakhsyari (467-538 H).
Ia dilahirkan di desa Zamakhsyar, Khawarizm, Iran. Sebutan
Jarullah artinya adalah tetangga Allah, karena beliau lama tinggal di mekah,
dekat ka’bah. Ia terkenal sebagai tokoh dalam Ilmu Tafsir, nahwu, dan
paramasastra. Dalam karanganya Ia terang-terangan menonjolkan faham Mu’tazilah.
Misalnya dalam kitab tafsir Al-Kassyaf, ia berusaha menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur,an berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama lima prinsip ajaranya
yang akan di uraikan pada Sub-Bab berikutnya. Selain itu kitab Al-Kassyaf diuraikan
dalam ilmu balaghah yang tinggi, sehingga para mufassirin banyak yang menggunakanya
hingga saat ini.
No comments:
Post a Comment