Menu

Friday, 3 January 2014

READINESS DALAM BELAJAR ( makalah )



READINESS DALAM BELAJAR


I.               PENDAHULUAN
Dalam belajar sangatlah dibutuhkan persiapan diri untuk menghadapinya. Belajar adalah cara seseorang untuk mengetahui suatu perihal yang belum bisa dilakukan. Seseorang baru dapat belajar tentang sesuatu apabila dalam dirinya sudah terdapat “Readiness” untuk mempelajari sesuatu itu. Karena dalam kenyataannya setiap individu mempunyai perbedaan individu, maka masing-masing individu mempunyai latar belakang perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan adanya pola pembentukan readiness yang berbeda-beda pula di dalam diri masing-masing individu. Begitu pula readiness dalam belajar sangatlah berpengaruh pada perkembangan pribadi seseorang untuk mematangkan kesediaannya dalam belajar tersebut dengan begitu seseorang akan mudah dan siap menerima sesuatu yang akan dipelajari dalam pembelajarannya itu sendiri.

II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian readiness?
2.      Bagaimana readiness dalam belajar?
3.      Pembentukan readiness dalam belajar?

III.         PEMBAHASAN
A.    Pengertian Readiness
Readiness diartikan sebagai kesiapan atau kesediaan seseorang untuk berbuat sesuatu. Seorang ahli bernama Cronbach memberikan pengertian tentang pengertian tentang readiness sebagai segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu.[1]

B.     Readiness dalam Belajar
Kesiapan dalam belajar adalah kondisi-kondisi yang mendahului kegiatan belajar itu sendiri. Tanpa ada kesiapan atau kesediaan ini proses belajar tidak akan terjadi. Pra kondisi belajar ini terjadi atas :
1.      Perhatian
Untuk mengamati sesuatu diperlukan perhatian, seperti misalnya perhatian pada seorang anak dengan menggunakan cara anak harus melihat gambar atau buku dan bukan melihat keluar jika ingin belajar. Kita tentu dapat memikirkan berbagai cara untuk menarik perhatian anak dengan memberikan stimulus yang baru, aneka ragam, atau berinteraksi tinggi.
Untuk memupuk perhatian pada anak ada yang memberikan ganjaran simbolis, dapat pula dipupuk dengan memberi kesempatan pada anak untuk memberikan respon dan anak suka melakukannya. Selain itu pelajaran dimulai dengan yang mudah seperti rangkaian yang lebih panjang. Sehingga dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi sesuatu atau hal yang akan dipelajarinya.
2.      Motivasi Belajar
Motivasi kelakuan manusia merupakan yang sangat luas. Banyak macam motivasi dan para ahli meneliti tentang bagaimana asal dan perkembangannya dan menjadi suatu “daya” dalam mengarah kelakukan seseorang. Motivasi diakui sebagai hal yang sangat penting bagi pelajaran di sekolah. Setidaknya anak itu harus mempunyai motivasi untuk belajar di sekolah. Tidak semua anak menyukai sekolah, sekalipun mereka tidak membenci segala bentuk pelajaran. Sebaliknya diharapkan mempunyai motivasi untuk belajar agar ia dapat melakukan sesuatu.
3.      Perkembangan Kematangan
Dapat tidaknya seorang anak belajar sesuatu juga ditentukan, oleh taraf kematangan dan kesiapannya.
Piaget (1952) membedakan beberapa fase dalam aspek kognitif yang disebutnya fase senso-motor, pra operasional, operasional kongkrit, dan operasional formal. Pada suatu saat anak itu dapat berpikir logis bila dihadapkan dengan peristiwa yang kongkrit akan tetapi ia tidak mampu memperlihatkan pemikiran logis bila menghadapi masalah yang mengandung unsur-unsur simbolis.
Dapat juga dikatakan, bahwa perbedaan dalam perkembangan kesiapan anak disebabkan oleh perbedaan dalam ketrampilan intelektual yang telah dipelajari sebelumnya. Dengan demikian perlulah dipenuhi prasyarat untuk melakukan tugas atau memecahkan masalah tertentu. Pada prinsipnya seorang anak kelas empat SD dapat diajarkan berpikir abstrak asal ia menguasai prasyarat-prasyarat untuk itu. Anggapan sekarang adalah bahwa anak-anak dapat mempelajari hal-hal yang dulunya diundurkan sampai usia yang lebih tinggi. Dalam Matematika misalnya pada tingkat rendah di SD telah diajarkan pengertian-pengertian aljabar dan Matematika lainnya yang dahulu baru diberikan kepada murid-murid SMP.[2]
4.      Perkembangan Disiplin
Bila dasar yang baik yang disebut sebagai pola emosional yang habitual sudah terbentuk, tidaklah sukar bagi lingkungan lain seperti sekolah untuk melanjutkan usaha ini. Sebab hubungan tinebal baik untuk kebutuhan rasa aman, dan pemberian perlindungan akan berlanjut terus, juga di luar rumah meskipun dalam gradasi yang berbeda.
Tujuan disiplin bukan untuk melarang kebebasan atau mengadakan penekanan, melainkan memberikan kebebasan dalam batas kemampuan seseorang atau anak untuk ia kelola. Sebaliknya kalau berbagai larangan itu amat ditekankan kepadanya, ia akan merasa terancam, mengalami rasa cemas yang merupakan suatu gejala yang kurang baik dalam pertumbuhan seseorang.
Bagi seorang anak disiplin bersifat arbirair yang artinya adalah suatu kunformitas pada tuntutan eksteranl, namun bila dilakukan dalam suatu suasana emosional yang positif, menjadi proses pendidikan yang menimbulkan keikhlasan dari dalam dirinya untuk berbuat sesuai peraturan, tanpa merasa dirinya takut atau terpaksa. Dengan begitu tidak terjadi “disiplin bangkai” (cadaveric discipline), yaitu kepatuhan mati yang ditaati karena takut dan tanpa pikir atau keikhlasan.
Disiplin membantu anak atau seorang untuk menyadari apa yang diharapkan dan apa yang tidak diharapkan darinya, dan membantunya bagaimana mencapai apa yang diharapkan darinya tersebut. Disiplin terjadi bila pengaruh diberikan oleh seseorang yang memberikan dan tumbuh dari pribadi yang berwibawa serta dicintai bukan ditakuti dan berkuasa. Dengan demikian disiplin dapat menciptakan pula kesiapan atau kesediaan dalam diri seseorang untuk menghadapi atau mempelajari sesuatu.[3]
5.      Mengubah Gerak Tubuh Menggapai Kepercayaan Diri
Banyak belajar yang tidak mempercayai kemampuan diri sendiri, merasa rendah diri, minder dan selalu merasa kekurangan, sehingga kesiapan dalam dirinya kurang maksimal untuk menghadapi suatu pembelajaran. Mereka selalu menunggu pengarahan dari orang lain. Menurut Muhammad bin Abdullah as-sahini, hilangnya rasa percaya diri pada anak disebabkan oleh perlakuan pendidik yang salah, orang tua dan para pendidik menerapkan konsep pengajaran yang tidak benar, seperti anak didik terlalu banyak dibebani oleh perintah dan larangan, padahal hal ini malah bisa mematikan kreativitanya. Banyak orang tua yang miskin tetapi kaya hukuman. Setiap melakukan kesalahan anak juga selalu ditakut-takuti dan dimarahi. Perbuatan ini jelas akan berakibat fatal anak tidak berani mencoba lagi sehingga akhirnya rasa percaya diri akan hilang dari anak.
Para psikolog menjelaskan bahwa kita dapat mengubah sikap dengan cara mengubah tindakan fisik. Mengubah fisik berarti mengubah gerakan tubuh kita, mulai dari gerakan badan, kaki, tangan dan seluruh anggota tubuh. Selaku pelajar kita akan merasa sebagai pelajar yang unggul, pintar, cerdas, dan penuh percaya diri.[4] Bila kita aktif maka kita akan dapat mengubah diri kita dengan rasa percaya diri sebagai langkah kesiapan untuk perkembangan diri kita yang lebih baik.

C.    Pembentukan Readiness dalam Belajar
Dalam pembentukan readiness meliputi :
1.      Prinsip-prinsip Readiness dalam belajar yang melibatkan beberapa faktor yang bersama-sama membentuk readiness yaitu :
a)      Perlengkapan dan pertumbuhan fisiologis, ini menyangkut pertumbuhan terhadap kelengkapan pribadi seperti tubuh yang umumnya, alat-alat indra dan kapasitas intelektual.
b)      Motivasi yang menyangkut kebutuhan, minat serta tujuan-tujuan individu untuk mempertahankan serta mengembangkan diri. Motivasi berhubungan dengan sistem kebutuhan dalam diri manusia serta tekanan-tekanan lingkungan.
Dengan demikian, readiness seseorang itu senantiasa mengalami perubahan setiap hari sebagai akibat dari pertumbuhan dan perkembangan fisiologis individu. perkembangan readiness terjadi dengan mengikuti prinsip-prinsip tertentu. Adapun prinsip-prinsipnya yaitu :
1)      Semua aspek berinteraksi dan bersama-sama membentuk readiness
2)      Pengalaman seseorang ikut mempengaruhi pertumbuhan fisiologis individu
3)      Pengalaman mempunyai efek kumulatif dalam perkembangan fungsi-fungsi kepribadian individu, baik jasmaniah maupun yang rohaniah.
4)      Apabila readiness untuk melaksanakan kegiatan tertentu terbentuk pada diri seseorang, maka saat-saat tertentu dalam kehidupan seseorang merupakan masa formatif bagi perkembangan pribadinya.

2.      Kematangan sebagai dasar dari pembentukan Readiness
Individu mengalami pertumbuhan materiil jasmaniah bahwa pertumbuhan pada masing-masing individu tidak sama. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh pengaruh fisiologis, psikologis dan bahkan sosial. Antara kondisi fisik dan kehidupan sosial terdapat hubungan timbal balik.
Superioritas jasmanilah tidak mesti berarti menjadikan superioritas tingkah laku. Sering orang beranggapan, apabila seseorang memiliki kondisi fisik yang menonjol seperti bertubuh gemuk, kuat, cantik atau tampan dan sebagainya dapat menunjukkan pola tingkah laku yang dipuji oleh orang lain. Pengaruh kondisi jasmaniah terhadap pola tingkah laku atau pengakuan sosial sangat tergantung kepada :
1)      Pengakuan individu yang bersangkutan terhadap diri sendiri (self concept)
2)      Pengakuan dari orang lain atau kelompoknya. Masing-masing individu mempunyai sikap tersendiri terhadap keadaan fisiknya.
Perubahan jasmaniah memerlukan bantuan “motor learning” agar pertumbuhan itu mencapai kematangan. Kematangan ataupun kondisi baru akan memperoleh pengakuan sosial, apabila individu yang bersangkutan mengusahakan “sosial learning”. Dengan demikian sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhannya, berlajarnya, dan lingkungan sosialnya.
a)      Dasar-Dasar Biologis Tingkah Laku
Tingkah laku individu didasari oleh pertumbuhan biologisnya. Sistem syaraf merupakan penggerak tingkah laku manusia secara biologis. Pusat sistem syaraf terdiri dari otak dan sum-sum tulang belakang. Itulah yang berfungsi sebagai pengatur gerakan jasmaniah pada tubuh. Tingkah laku manusia dapat terbagi atas dua macam reaksi yaitu ;
1)      Respondent behavior, yaitu tingkah laku bersyarat dan tidak sengaja selalu tergantung kepada stimuli
2)      Operant behavior, yaitu tingkah laku disengaja dan tidak selalu tergantung pada stimuli.
Setiap jenis tingkah laku, baik yang disengaja maupun tidak, memerlukan kematangan fungsi jasmaniah, terutama fungsi-fungsi sistem syaraf dan fungsi-fungsi vital jasmaniah.




b)      Perubahan-perubahan dalam otak yang menimbulkan kematangan
Setelah otak menjadi matang mengalami perubahan fisik pada manusia. Perubahan ini dapat menimbulkan tingkah laku baru tak terduga sebelumnya.
Perkembangan struktur dan fungsi otak tampak sempurna atau hampir sempurna pada saat anak tiba masuk sekolah dasar. Pada umur-umur setelah 6 tahun, terjadilah perubahan-perubahan penting dalam struktur otak, namun perkembangan kapasitas mental lebih banyak diakibatkan oleh pengalaman atau belajar. Perkembangan prestasi akademik pada anak-anak sesudah mencapai masa remaja lebih banyak dipengaruhi oleh faktor motivasi dan belajar.
c)      Kematangan membentuk Readiness
Perubahan disebabkan karena perubahan “genes” yang menentukan perkembangan struktur fisiologis dalam sistem saraf, otak dan indra sehingga semua itu memungkinkan individu matang mengadakan reaksi-reaksi terhadap setiap stimulus lingkungan.
Kematangan ialah keadaan atau kondisi bentuk struktur dan fungsi yang lengkap atau dewasa pada suatu organisme, baik terhadap satu sifat, bahkan seringkali semua sifat (English  & English, 1958 : 308).
Kematangan (Maturity) membentuk sifat dan kekuatan dalam diri untuk bereaksi dengan cara tertentu, yang disebut “readiness”. Rediness yang dimaksud yaitu readiness untuk bertingkah laku, baik tingkah laku yang instingtif, maupun tingkah laku yang dipelajari.
Yang dimaksud dengan laku instingtif yaitu suatu pola tingkah laku yang diwariskan (melalui proses hereditas). Ada 3 ciri tingkah laku instingtif, yaitu :
1.      Tingkah laku instingtif terjadi menurut pola pertumbuhan hereditas.
2.      Tingkah laku instingtif adalah tanpa didahului dengan latihan atau praktek sebelumnya.
3.      Tingkah laku instingtif berulang setiap saat tanpa adanya syarat yang menggerakkannya.
Tingkah laku apapun yang dipelajari, memerlukan kematangan. Orang tak akan dapat berbuat secara intelijen apabila kapasitas intelektualnya belum memungkinkannya. Untuk itu kematangan dalam struktur otak dan sistem saraf sangat diperlukan.
Dalam kehidupan individu, banyak hal yang tidak dapat dilakukan atau diperoleh hanya dengan kematangan, melainkan harus dipelajari. Hal ini misalnya mengenai kemampuan berbicara, membaca, menulis dan lain-lain. Dalam hal melakukan aktifitas-aktifitas semacam itu. Kematangan memang tetap diperlukan sebagai penentu readiness untuk belajar.
Tingkat kematangan individu dapat diketahui dengan jalan mengukur mental (MA yatu mental age) masing-masing individu.

3.      Lingkungan atau kultur sebagai penyumbang pembentukan Readiness
Memang, anak mengalami pertumbuhan, dan pertumbuhan fisiknya merupakan penyumbang terpenting bagi pembentukan readiness. Perkembangan mereka tergantung pada pengaruh lingkungan dan kultur disamping akibat tumbuhnya pada pola jasmaniah. Stimulasi lingkungan serta hambatan-hambatan mental individu mempengaruhi perkembangan mental, kebutuhan, minat, tujuan-tujuan, perasaan, dan karakter individu yang bersangkutan.
Dalam perkembangan kehidupan individu, lingkungan yang dihadapi atau direaksi semakin luas. Meluasnya lingkungan dapat melalui beberapa cara antara lain :
1)      Perluasan paling nyata adalah dalam arah stimuli fisik anak. Makin tua umur manusia, makin luas pula medan geografis yang dihadapi dan arah stimulasinya semakin melebar pula.
2)      Manusia yang mengalami perkembangan kapasitas intelektual dan disamping itu pemikirannya meningkat, maka dalam hidupnya terjadi banyak perubahan lingkungan. Dan perkataan lain lingkungan banyak mengalami perubahan di dalam diri manusia, misalnya di dalam pengamalannya, kesan-kesannya, ingatannya, imajinasinya dan yang terlebih penting adalah dalam pemikirannya.
3)      Akibat dari keadaan nomor 2) di atas, terjadilah perubahan lingkungan di dalam kemampuan individu membuat keputusan. Dengan adanya lingkungan dalam diri manusia ini, maka manusia pun menjadi lebih bebas menggunakan dunia untuk tujuan-tujuan manusia. Perubahan lingkungan ini terjadi akibat belajar serta bertambahnya kematangan manusia. Dengan adanya kemampuan mengontrol lingkungan yang lebih luas maka makin banyaklah kesempatan manusia untuk belajar. Dengan demikian makin banyaknya manusia belajar, maka kematangan tidak semakin berkurang melainkan dapat lestari atau bahkan meningkat.[5]

IV.         KESIMPULAN
Pengertian readiness yaitu diartikan sebagai kesiapan atau kesediaan seseorang untuk berbuat sesuatu.
Readiness dalam belajar adalah kesiapan atau kondisi-kondisi yang mendahului kegiatan belajar tersebut, pra-kondisi belajar ini terdiri dari :    1. perhatian; 2. motivasi belajar; 3. perkembangan kematangan; 4. perkembangan disiplin; 5. mengubah gerak tubuh menggapai kepercayaan diri. Dengan pra kondisi ini akan mematangkan sebuah readiness di dalam pembelajaran.
Adapun readiness dalam belajar mempunyai :
1.      Prinsip-prinsip pembentukan readiness yang mempunyai faktor-faktor sebagai berikut:    
a)   perlengkapan dan pertumbuhan fisiologis,
b)   motivasi yang menyangkt kebutuhan.
Perkembangan readiness terjadi dengan mengikuti prinsip-prinsip tertentu yaitu :
1)      Semua aspek berinteraksi dan bersama-sama membentuk readiness
2)      Pengalaman seseorang mempengaruhi fisiologis individu
3)      Pengalaman mempunyai efek kumulatif dalam perkembangan fungsi-fungsi kepribadian individu
4)      Apabila readiness untuk melaksanakan kegiatan tertentu dalam kehidupan merupakan perkembangan pribadinya.
2.      Kematangan sebagai dasar dari pembentukan readines yang meliputi :
a)      Dasar-dasar biologis tingkah laku
b)      Kematangan membentuk readiness
3.      Lingkungan atau kultur sebagai penyumbang pembentukan readiness. Pembentukan readiness dipengaruhi pula atas lingkungan atau kultur. Dengan adanya lingkungan dalam diri manusia akan dapat readiness yang lebih matang.



DAFTAR PUSTAKA



Nasution, 2008. Berbagai Pendekatan Proses Belajar & Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Noer, Muhammad, 2009. Software Pembelajaran. Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani.

Semiawan, Connyr, 2008. Penerapan Pembelajaran pada Anak. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Soemanto, Wasty, 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Readiness Dalam Hal Belajar, Http://Santri Universitas. Blogspot. Com. 08 Oktober 2001.



[1]  Santri Universitas, http: Santri universitas. blogspot. com.2011.08. readiness_dalam_hal_belajar. html.diunduh pada tanggal 08 Oktober 2011
[2] Prof. Dr. S. Nasution, M.A, Berbagai Pendekatan Proses Belajar & Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 180-183
[3]  Prof. Dr. Connyr Semiawan, Penerapan Pembelajaran pada Anak, (Jakarta: PT. Indeks, 2008), hlm. 91-93                           
[4] Muhammad Noer, Sofware Pembelajaran (Yogyakarta, PT. Pustaka Insan Madani, 2009), hlm.69
[5] Drs. Wasty Soemanto, M.Pd, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998) hlm. 191-199